LELAKI tua itu memakai peci yang sudah kusam. Janggut dan kumisnya memutih. Kerutan memenuhi wajah. Maklum usianya sudah mencapai 101 tahun.
Namun logat bicaranya masih keras. Pendengarannya masih sempurna. Ia masih bisa berjalan dan berlari layaknya pria dewasa pada umumnya.
Ia juga masih bisa menikmati kopi dan tertawa dengan santai di Warkop. Padahal, kebanyakan pria seusianya, harus banyak menghabiskan waktu di rumah akibat sakit faktor umur.
Sabtu 28 September 2019, penulis berkesempatan ngopi dengan sosok tertua gampong Lamgugop ini.
Orang-orang di Lamgugop memanggilnya dengan sapaan Apawan.
Pria ini berkelahiran 1918 Masehi asal Desa Lamgugop, Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Apawan sudah merasakan pahit manisnya kehidupan di 5 zaman, yaitu penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan reformasi.
Ditanya soal zaman apa yang dirasakan paling makmur dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat? Apawan memberi jawaban di luar dugaan.
“Belanda,” ujar Apawan dengan cepat.
“Dumpue mangat. Makanan mangat, dumpue mangat. Peng mangat chiet. Ubee hak droe (zaman Belanda-red),” katanya lagi.
“Oh, geutanyoe ta kerja bak jih (Belanda-red), sitali (nilai uang masa Belanda), kakeuh sitali.
Lantas bagaimana dengan masa Jepang?
“Geutanyoe deuk (kita lapar),” cerita Apawan.
“Payah pajoh oen kayee lagee leumo. Watee tajak u WC kon bue yang iteubit, ijoe lagee naleung (harus makan daun seperti sapi. Ketika kita buang air besar, bukan nasi yang keluar, tapi hijau seperti rumput),” ujarnya lagi.
Sambil menikmati kopi, Apawan juga bercerita soal kehidupan masyarakat pasca Indonesia merdeka.
“Bak merdeka ka dok (pas sudah merdeka sudah lupa diri),” kata Apawan.
“Kalee peng. Hana lee saleng peduli,” ujar pria yang mengaku sempat diburu oleh Jepang untuk dijadikan tentara.
Apawan juga masih bisa berbicara bahasa Jepang.
“Meunyoe diyue peugah haba hana that jeut lee. Meunyoe diyue teumeunak jeut,” katanya sambil tersenyum.
Namun terkait kondisi Aceh dan Indonesia saat ini, Apawan menolak untuk mengomentari. “Nyan hom,” ujarnya.
Tulisan dibuat berdasarkan wawancara Dailami Ilyas dengan Apawan.