Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan jumlah hotspot atau titik panas kembali mengalami kenaikan di sejumlah daerah terdampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Berdasarkan data yang kami peroleh pukul 09.00 WIB tadi, jumlahnya mengalami kenaikan,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat (Kapusdatin) BNPB Agus Wibowo, Senin (7/10) Seperti dilansir Antara.
Ia mengatakan untuk Provinsi Riau tercatat 34 titik panas, Jambi 67, Sumatera Selatan 87, dua di Kalimantan Barat, di Kalimantan Selatan 36, dan paling banyak di Kalimantan Tengah yaitu 123.
Padahal, kata Agus, pada 4 Oktober 2019 jumlah titik api di Provinsi Riau sudah tidak ada. Kenaikan juga terjadi di Jambi, Kalteng, dan Kalsel dari jumlah hotspot yang terpantau pada 4 September 2019.
“Jadi Provinsi Riau, Jambi, Kalteng dan Kalsel itu hotspot-nya naik dan hanya Sumatera Selatan yang naik turun karena kondisinya masih kering,” kata Agus.
Agus mengatakan pihaknya menduga kenaikan jumlah titik panas tersebut akibat curah hujan yang belum turun merata, dan masih adanya oknum yang dengan sengaja membakar lahan sebelum datangnya musim hujan.
Sementara itu, jumlah hotspot yang sempat menurun sepekan sebelumnya, kata dia, akibat upaya menurunkan hujan buatan atau teknologi modifikasi cuaca (TMC).
“Jadi pekan kemarin itu TMC berhasil dilaksanakan sehingga hujan turun secara merata di Kalimantan maupun Sumatera,” katanya.
Kemudian terkait kualitas udara, ia menyebut sejumlah daerah terdampak karhutla yaitu Provinsi Riau, Provinsi Jambi dan Palembang mengalami penurunan dengan kategori tidak sehat. Seterusnya Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan kategori sedang dan hanya Kalimantan Barat kategori baik karena curah hujan sudah cukup bagus di daerah tersebut.
Status Tanggap Darurat
Berkaca pada situasi dan kondisi terkini, BNPB pun menyatakan Riau dan Kalteng masih dalam status tanggap darurat karhutla.
“Sedangkan Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat itu berstatus siaga darurat hingga 31 Oktober kecuali Kalimantan Barat hingga Desember 2019,” kata Agus Wibowo.
Ia mengatakan dua provinsi yang hingga kini masih dalam status tanggap darurat karena kondisi karhutla belum begitu aman dan kondusif seperti empat provinsi lainnya.
“Jadi, jika status tanggap darurat itu maka BNPB akan membantu kegiatan yang membutuhkan biaya besar, contohnya penyewaan helikopter,” ujar dia.
Selain itu, BNPB juga menerjunkan 1.500 personel gabungan yang terdiri dari unsur TNI/Polri serta kelompok masyarakat di setiap provinsi terdampak karhutla 2019.
Terkait operasi TMC dan bom air (water bombing), Agus mengatakan pemerintah akan tetap melaksanakan metode tersebut hingga 31 Oktober untuk mengatasi karhutla terutama di daerah tanggap darurat.
Jika kondisinya kebakaran lahan masih parah, operasi TMC dan bom air akan diperpanjang demi mencegah perluasan daerah terdampak karhutla.
“Jadi kita harus memastikan musim hujan datang secara permanen sebelum operasi TMC dan bom air berakhir, agar daerah terdampak karhutla segera pulih,” ujarnya.
Secara keseluruhan, sepanjang 2019, BNPB mencatat sejak Januari-Agustus setidaknya 328.722 hektare yang terdampak karhutla. Terbanyak adalah di Kalsel yaitu 19.490 ha, disusul Kalteng 44.769 ha. Kemudian Kalbar 25.900 ha, Riau 49.266 ha, Jambi 11.022 ha, dan Sumsel 11.826 Ha/
“Dari total luas lahan yang terbakar itu, 100 ribu ha ada di Nusa Tenggara Timur,” katanya.