WARUNG SMEA tampak riuh akhir pekan pada awal Oktober lalu. Sejumlah meja dipadati pengunjung. Mereka datang untuk menikmati segelas kopi, sebelum memulai aktivitas. Kopi hitam dengan buleukat asoe kaya menjadi ciri khas warung tersebut.
Kami memilih kursi di sudut kanan yang tersisa. Memesan kopi sekaligus menunggu seorang tamu yang datang dari Pidie.
Ketika jam menunjukan pukul 08.30 WIB, seorang pria muda melambai dari kejauhan. Penampilannya amat sederhana. Tak ada kesan elit. Ia tersenyum saat melihat atjehwatch.com serta beberapa kenalan lainnya yang sedang duduk semeja.
“Kebetulan saya sedang berada di Banda Aceh. Jadi saya ajak kawan-kawan untuk ngopi bersama,” ujarnya usai menyalami satu persatu.
Pria muda ini bernama Mahfuddin Ismail. Tapi ia biasa disapa Mahfud. Dewan terpilih untuk DPRK Pidie selama tiga periode ini baru saja ditunjuk oleh Partai Aceh untuk memimpin lembaga legislative di sana.
Ia terpilih untuk periode 2009-2014, periode 2014-2019, serta kembali dilantik untuk periode 2019-2024. Bahkan PA sebagai pemilik kursi terbanyak menunjuk Mahfud sebagai ketua DPRK Pidie. Terpilih selama tiga periode menandakan ia piawai dalam politik serta dekat dan disenangi oleh masyarakat.
“Menunggu ditandatangani SK oleh Plt,” ujar Mahfud singkat.
Pembicaraan kemudian beralih soal politik serta persoalan-persoalan yang masih dirasakan oleh masyarakat Pidie.
Pria kelahiran 13 April 1981 serta alumni Magister Administrasi Publik Universitas Medan Area ternyata paham benar dengan seluk beluk persoalan yang dihadapi oleh warga Pidie, terutama soal pendidikan dan kepemudaan. Sosok ini juga dekat dengan para politisi lintas partai serta pimpinan SKPD di Pidie.
“Yang terpenting adalah komunikasi. Mau mendengar dan kemudian menjawab harapan-harapan masyarakat melalui kerja nyata,” kata suami dari Hetti Zuliani MPd yang dikenal aktif di organisasi mahasiswa semasa di kampus ini.
Bagi Mahfud, menjadi dewan dari Partai Aceh, sedikit berbeda dengan dewan dari Parnas lainnya. Ada tuntutan serta tanggungjawab moral yang lebih tinggi. Partai Aceh sendiri merupakan partai yang dibentuk oleh kombatan GAM.
Mahfud sendiri memiliki ‘DNA’ GAM dalam tubuhnya. Pamannya adalah Mantri Hamid, yang merupakan pentolan GAM angkat 1976. Mantri Hamid pernah menjabat sebagai gubernur GAM wilayah Pidie. Keluarga besarnya juga memiliki ikatan kuat dengan para kombatan semasa konflik Aceh.
Hal ini pula yang membuatnya paham benar soal perjuangan Aceh. Ia turut mengadvokasi tuntutan itu selama menjadi aktivis mahasiswa dari konflik hingga damai.
“Jadi tuntutan berbuat itu harus benar-benar datang dari hati. Mendahului kepentingan umum di atas kepentingan pribadi,” ujar mantan aktivis yang gemar membaca ini.
Sementara aktivitas politik Mahfud dimulai sejak 2008 saat terpilih sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Sagoe Partai Aceh (PA) Teupin Raya. Satu tahun kemudian ia terpilih sebagai Ketua DPS PA Teupin Raya. Kini amanah sebagai Ketua DPS PA Teupin Raya sudah dilakoninya selama 3 periode.
Amanah yang diembankannya semakin tinggi sejak dititip tugas sebagai ketua DPRK Pidie di atas pundaknya.
“Saya tak bisa menjalankan tugas ini sendiri. Butuh dukungan semua pihak di lapangan. Kader dan masyarakat. Isya Allah tugas yang besar jika dipikul sama-sama akan ringan,” harap pria murah senyum ini.
Obrolan kemudian terputus pada pukul 10.45 WIB. Mahfud minta izin pamit karena ada keperluan yang tak bisa dihindari.
Sekitar dua pekan berlalu, SK penunjukan Mahfud dan dua unsur pimpinan DPRK Pidie lainnya, akhirnya ditandatangani oleh Plt Gubernur pada Rabu lalu. Senin pagi nanti, Mahfud akan resmi disumpahkan sebagai ketua definitif DPRK Pidie.
“Ia benar. Senin nanti disumpahkan,” ujar dia.[]