PRIA muda itu tergopoh-gopoh. Ia memakai kemeja merah jambu serta celana kain biasa. Penampilannya amat sederhana. Padahal, sekitar dua bulan lalu, baru saja dilantik sebagai anggota DPRK Aceh Besar.
Dia adalah Juanda Djamal, mantan aktivis kemanusiaan sewaktu Aceh masih konflik, pernah menjadi Juru Bicara BRR NAD Nias serta kini dipercayakan sebagai Ketua Fraksi PA di DPRK Aceh Besar.
Juanda tersenyum saat melihat atjehwatch.com di sudut kanan salah satu warung kopi di kawasan Batoh, Kota Banda Aceh.
“Meah telat bacut. Lon jemput aneuk miet dan bocor ban moto,” ujar dia.
Juanda memesan segelas kopi hitam. Namun saat hendak memulai pembicaraan, handphone-nya berdering berulang kali.
“Lon angkat nyoe dilee,” ujarnya sambil tersenyum.
Usai berbicara beberapa menit, Juanda menutup telepon. Sayangnya, saat hendak kembali berbicara, telepon miliknya kembali berdering. Ia kembali melayani panggilan masuk tadi.
“Jeut. Selasa taduek beh kak,” ujarnya di ujung panggilan.
Menurut Juanda, dua panggilan masuk tadi berhubungan dengan unit kerajinan yang sedang dicentusnya bersama Partai Aceh dengan kaum ibu-ibu di berbagai daerah dalam kabupaten Aceh Besar. Juanda memang sedang focus pada konsep pengembangan ekonomi kecil masyarakat, terutama kaum ibu.
Jauh sebelum jadi ketua Fraksi PA di DPRK Aceh Besar, Juanda memang telah melalang buana ke sejumlah negara. Ia keliling Eropa dan banyak negara di dunia. Juanda mempelajari banyak hal. Bertemu dengan banyak orang dan kemudian berdiskusi.
“Saat saya ke Turki, saya melihat banyak pemuda yang berwirausaha. Salah satunya kebab serta usaha lainnya. Ada penampung sehingga semangat wirausahanya. Demikian juga dengan kerajinan lainnya. Jadi perusahaan-perusahaan besar itu mengambil barangnya langsung dari petani. Perusahaan untung dan petani terberdayakan. Ada pasarnya dari hulu ke hilir,” kata Juanda.
Konsep inilah yang sedang digagas oleh Juanda untuk Aceh dan ia memulainya dari Aceh Besar.
“Jadi ibu-ibu tadi ada usaha kerajinan. Saya hubungan dengan salah satu lembaga di Malaysia. Mereka menampung kerajinan ini untuk dipasarkan. Ini mulai berjalan,” kata Juanda tersenyum.
Bagi Juanda, kreatifitas warga Aceh sebenarnya tak kalah saing dengan masyarakat lainnya di dunia. Hanya saja belum tersambung dengan pasar di luar dan ruang lingkupnya masih sebatas lokal. Hal inilah yang sedang dijembataninya kini.
“Kalau ini sudah terjadi, maka kepekaan politik akan tumbuh,” ujar pria yang dikenal dekat dengan siapapun ini.
Juanda sendiri melupakan calon wakil bupati untuk Aceh Besar pada pilkada 2019 lalu. Ia berpasangan dengan Saifuddin Yahya atau akrab disapa Pakcek serta diusung oleh Partai Aceh yang dibentuk mantan kombatan GAM usai Aceh damai. Namun keduanya gagal terpilih di pilkada lalu.
Tapi kegagalan ini tak membuat Juanda patah arang. Ia tetap focus bersama masyarakat dibidang pemberdayaan ekonomi. Sejumlah program dicentusnya, seperti Bank Mawah, pemberdayaan mukim, program Sibreh atau Sie – Breuh, serta lainnya.
Hal ini pula yang membuat Juanda lolos ke DPRK Aceh Besar. Pakcek sendiri kini tercatat sebagai anggota DPR Aceh periode 2019-2024.
“Muara politik adalah ekonomi. Aceh butuh keduanya. Pemuda yang berideologi Aceh dan berkarakter Aceh, tapi juga memiliki konsep pembangunan ekonomi,” kata Juanda. [Bersambung]