Kamis, 12 September 1963, sekitar 10.000 manusia memadati Kantor Kodim 0102, alias ruang persidangan Pengadilan Negeri Sigli. Mereka berasal dari berbagai penjuru Aceh, khususnya Samalanga, untuk menyaksikan langsung pembacaan pledoi Thaib Adamy di hadapan Hakim Chudari.
Setelah memaparkan isi pleidoi selama lima setengah jam tanpa diizinkan meminum seteguk air pun, Thaib Adamy divonis penjara selama dua tahun dan diwajibkan membayar denda.
Empat bulan kemudian, tepatnya akhir Januari 1964, naskah pidato pembelaan itu diterbitkan sebagai buku setebal 127 halaman oleh Komite PKI Aceh dengan judul Atjeh Mendakwa. Inilah satu-satunya karya utuh Thaib Adamy yang tersisa dan masih dapat kita baca.
Pengadilan Thaib bermula setelah diadili setelah Wakil Sekretaris Pertama Comite PKI Aceh ini menyampaikan sebuah pidato dalam Rapat Umum PKI tanggal 3 Maret 1963 di Gedung Bioskop Purnama, Sigli.
Pidato tersebut membuatnya dituduh telah menyiarkan berita bohong dan menghasut rakyat sehingga dapat menimbulkan keonaran. Atas perintah dari Kolonel M. Jasin, selaku Panglima Kodam I Iskandar Muda, Thaib ditangkap pada 29 Maret 1963.
Menurut Sekretaris Pertama Komite PKI Aceh M. Samidikin, pidato Thaib memaparkan apa yang perlu dilakukan untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi, menuding perbuatan kaum kapitalis birokrat yang menggarong kekayaan negara, serta mengutuk kaum kontra-revolusi. Oleh sebab itu, pada 5 April 1963, Komite PKI Aceh menyebarkan pamflet berjudul “Madju Terus dengan Semangat Vivere peri coloso Mengganjang Segala Tantangan” sebagai bentuk perlawanan dan kritik atas kejanggalan kasus penangkapan Thaib.
Pamflet tersebut berhasil menyulut simpati dari berbagai pihak. Selama kurun waktu enam kali persidangan, ada banyak warga yang mengirim wesel dan membuat petisi untuk menuntut pembebasan Thaib Adamy.
Dalam Kongres Nasional Ke-VII PKI Pusat di Jakarta pada 26 Desember 1963, kasus itu menjadi pokok bahasan istimewa (hlm. 4). Sayangnya, setelah tragedi 1965, popularitas Thaib beserta peristiwa yang menyertainya lenyap dari ingatan masyarakat Aceh, seolah-olah tidak pernah tercatat dalam sejarah.
Fatwa Haram Komunis
Saking minimnya sumber tertulis tentang kehidupan pribadi Thaib Adamy, tempat dan tanggal kelahirannya tak diketahui secara pasti. Hal ini berkaitan erat dengan pemberangusan segala atribut yang berkaitan dengan PKI pasca-tragedi 1965.
Di Aceh sendiri, pelarangan dan gerakan anti-komunis muncul lebih awal ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia. Setelah PKI dinyatakan sebagai dalang Gestapu, salah satu tokoh PNI Aceh Haji Syamaun memimpin demonstrasi besar-besaran pada 7 Oktober 1965 di Banda Aceh untuk menuntut pembubaran PKI. Usman Adamy, kakak kandung Thaib Adamy, turut serta dalam aksi tersebut. Dengan tuntutan yang sama, aksi ini mendahului aksi Tritura pada 12 Januari 1966.
Pada 17-18 Desember 1965, sekitar 56 ulama seluruh Aceh di bawah pimpinan Teungku Abdullah Ujongrimba menggelar muktamar untuk mendiskusikan pandangan mereka atas peristiwa 1 Oktober. Mereka mengumumkan fatwa yang mengharamkan ideologi komunis di seluruh Aceh dan menyatakan bahwa semua anggota PKI yang ikut serta dalam Gestapu adalah “kafir harbi” (kafir yang memusuhi Islam) dan wajib dibasmi. Keputusan ini mendahului Tap MPRS No. 25 Tahun 1966 yang menjadi landasan hukum pelarangan PKI di Indonesia.
Setelah dikeluarkannya fatwa dan Tap MPRS, Kantor Komite PKI Aceh di Neusu dibakar massa. Dokumen-dokumen penting pun musnah. Rumah Thaib Adamy yang tidak jauh dari area stasiun kereta api Banda Aceh (sekarang beralih menjadi Mall Barata) juga diserbu dan diobrak-abrik. Akibatnya, catatan tentang kehidupan pribadi Thaib Adamy tidak bisa ditemukan lagi.
Saat ini, satu-satunya sumber tertulis yang cukup banyak menceritakan Thaib Adamy adalah disertasi Jess Melvin, The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder, yang diterbitkan sebagai buku setebal 320 halaman oleh Routledge pada Juli 2018 silam. Sejak 2008, Melvin telah melakukan penelitian dengan mewawancarai pelaku dan penyintas pembantaian massal, salah satunya Ramli, anak ketiga Thaib Adamy.
Menurut pengakuan Ramli, Thaib tewas meninggalkan seorang istri yang sedang hamil dan dua orang anak, yakni Ramli (waktu itu berusia tujuh tahun) dan salah seorang adiknya yang tidak disebut nama dan usianya. Sementara itu Yusni (17 tahun) dan Yasrun (15 tahun), dua anak tertuanya, turut menjadi korban pembantaian massal (hlm. 163).
Karier Seni dan Politik
Di tengah kesibukannya sebagai seorang politisi, Thaib Adamy sempat menulis puisi. Dalam antologi setebal 966 halaman berjudul Gugur Bunga: Puisi Lekra Harian Rakjat (1950-1965) (2008) yang dihimpun Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, setidaknya ada empat puisi Thaib Adamy yang pernah dipublikasikan, yaitu Pasti Datang, Tak Padam, Burang Tudjah, dan Tujuh Setan Desa (hlm. 848).
Lazimnya karya seniman Lekra, puisi Thaib Adamy cenderung menonjolkan gagasan ketimbang estetika. Dia berusaha mengobarkan semangat revolusi melalui perjuangan kelas kaum tani dan rakyat jelata lainnya, atau menyindir ketamakan kaum borjuis dan aristokrat. Uniknya, salah satu puisi ditulis dalam bahasa Aceh sebagai penegasan bahasa daerah sebagai bahasa rakyat. Dalam sajak enam bait berjudul “Burang Tudjah”, Thaib berusaha menggambarkan keragaman budaya Aceh dengan diksi yang lugas.
Dikutip dari Melvin, nama Thaib Adamy melesat di kancah politik setelah diangkat menjadi satu-satunya wakil PKI di DPRD Aceh pada 11 Februari 1957 dan terpilih kembali mewakili PKI bersama Nyak Ismail sebagai anggota DPR-GR Aceh pada 9 September 1961.
Saat itu, dia menggunakan pengaruhnya meyakinkan pemerintah daerah agar tidak memberikan rehabilitasi dan abolisi bagi para pejabat daerah Aceh yang pernah terlibat DI/TII. Bahkan pada 1962, dia mengritik Gubernur Ali Hasjimy yang ingin menerapkan syariat Islam di Aceh atas permintaan dari Kolonel M. Jasin.
Pada dasarnya, penerapan syariat Islam adalah salah satu syarat yang diajukan oleh pemimpin DI/TII Aceh Daud Beureueh sebelum menyatakan diri untuk menyerah. Karena itulah, Thaib Adamy menuduh Gubernur Ali Hasjimy dan Kolonel M. Jasin mengkhianati prinsip demokrasi. Melalui enam artikel dalam surat kabar Harian Rakjat sepanjang 1962-1963, Thaib Adamy mengangkat isu tersebut menjadi skandal nasional, sehingga berhasil menarik simpati massa. Di sisi lain, PKI Aceh mendapatkan musuh baru lantaran Kolonel M. Jasin, lawan politik terberat Thaib Adamy, diangkat sebagai Panglima Kodam I Iskandar Muda menggantikan Nyak Adam Kamil (hlm. 78).
Melalui berbagai manuver politik, Kolonel M. Jasin akhirnya berhasil menjebloskan Thaib Adamy ke penjara dengan tuduhan menyiarkan berita bohong dan menghasut rakyat sehingga berpotensi menimbulkan keonaran.
Raib Karena Tragedi 1965
Atjeh Mendakwa adalah warisan intelektual tunggal yang ditinggalkan oleh Thaib Adamy. Melalui buku itu, pembaca dapat menangkap gagasan-gagasan politik Thaib secara utuh dan padu.
Di bagian awal Atjeh Mendakwa, Thaib menolak semua tuntutan yang dituduhkan kepadanya. Namun, ia juga bilang akan setia menerima apa pun keputusan hakim demi membela kehormatan komunis dan revolusi. Sebagai seorang komunis sejati, tulis Thaib, ia tidak bisa menggunakan kata-kata yang samar dan berbelit-belit untuk menyatakan perasaan dan pikiran yang benar terhadap perbuatan yang salah. Ia mengatakan harus menggunakan kata-kata yang tegas dan keras terhadap tindakan-tindakan yang memusuhi revolusi dan merugikan rakyat (hlm. 7). Ia juga menyerang golongan yang disebutnya “Manipol munafik” dan menyindir Kolonel M. Jasin secara langsung dan terbuka.
Bagi Thaib, krisis ekonomi Indonesia berakar dari wataknya yang masih kolonialis dan diperparah lagi oleh kesewenang-wenangan kaum kapitalis birokrat. Dasar-dasar untuk mengembangkan ekonomi negara agar independen sebenarnya sudah ada. Sayangnya, menurut Thaib, kaum kapitalis birokrat menghambat pelaksanaan program-program berorientasi penyediaan sandang dan pangan dan upaya-upaya mengubah ekonomi yang masih bersifat kolonialis tersebut (hlm. 46).
Garis besar pemikiran Thaib Adamy memang tidak bisa dilepaskan dari tradisi intelektual kiri Dunia Ketiga yang percaya bahwa keterbelakangan di bekas negeri-negeri jajahan bersumber dari struktur masyarakat yang setengah kapitalis dan setengah terjajah. Di Indonesia, tradisi ini diwakili oleh PKI dan sayap kiri PNI. Tak heran, lebih dari 50 kali Atjeh Mendakwa mengutip pernyataan Bung Karno.
“[S]aya ditangkap dan ditahan karena mengganyang kaum kapitalis birokrat dan kontra-revolusi… tetapi anehnya, yang disita [oleh militer] bukan hanya catatan yang berhubungan dengan rapat umum tersebut, tetapi mereka juga merampas buku ilmu pengetahuan seperti brosur tentang Marxisme karya Kawan D.N. Aidit… brosur filsafat tentang ‘Dasar dan Bangunan Atas’, surat kabar Harian Rakjat, buletin dari kantor Berita Hsin Hwa, majalah yang bersifat umum, instruksi Presiden dan instruksi Menteri tentang pengumpulan padi secara gotong royong, putusan DPRD-GR Dista dan Front Nasional dan banyak catatan-catatan lain milik Partai, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pidato saya di Sigli,” tulis Thaib dalam pledoinya (hlm. 10).
Ketika peristiwa 1 Oktober terjadi, Thaib baru saja menyelesaikan masa tahanan. Sebelum 7 Oktober 1965, istri dan kedua anak terakhirnya telah disembunyikan oleh kerabat jauh mereka di Pidie. Thaib dan Yasrun sendiri melarikan diri ke Takengon. Adapun Yusni tinggal seorang diri di rumah sampai sekelompok orang datang menculiknya. Sebelum dibunuh, ia disekap di dalam sebuah Markas Polisi Militer di daerah Keudah.
Thaib Adamy dan Yasrun meninggalkan Banda Aceh pada 6 Oktober 1965. Tepat di tengah perjalanan, bus yang mereka tumpangi dicegat. Setelah dikeluarkan dari bus, mereka berdua diangkut menggunakan truk ke arah Lhoknga, sebuah situs pembunuhan yang dikendalikan oleh militer.
Konon, sebelum dibunuh, Thaib diberikan kesempatan oleh salah seorang algojo yang merupakan sepupu jauhnya untuk melarikan diri ke hutan. Namun, dia menolak dibunuh dengan cara dipenggal, sebagaimana korban lainnya. Ia ingin ditembak mati. Setelah itu, si algojo mengambil arloji emas milik Thaib Adamy dan memberikannya pada Ramli, anak ketiga Thaib (hlm. 195).
Sejak itu ia menjadi satu dari ribuan orang yang raib selama tahun-tahun gelap itu. []
Penulis adalah Nanda Winar Sagita. Ia pengajar sejarah dan penulis lepas. Ia tinggal di Takengon, Aceh Tengah. Tulisan ini sudah dimuat di tirto.id. Redaksi memuat utuh tanpa penyuntingan.