Mencari orang yang kreatif di Aceh itu sulit. Mungkin seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Ini karena jumlahnya, cuma satu persen dari total jumlah penduduk Aceh yang kini mencapai 4,6 juta. Setidaknya, persentase tadi berdasarkan hitungan Ketua Kadin Aceh, Makmur Budiman.
Tapi kita semua tak perlu khawatir. Karena orang-orang kreatif tadi sudah dikumpulkan oleh Makmur Budiman dalam wadah Kadin Aceh. Mereka dilantik oleh Plt Gubernur Nova Iriansyah di Anjong Mon Mata, beberapa waktu lalu.
Di Kadin-lah orang-orang kreatif se-Aceh kini berkumpul. Dengan begitu, kita tak perlu repot-repot lagi berkeliling Aceh demi melihat orang-orang yang kreatif dan memiliki integritas tinggi untuk membuka berbagai macam lapangan kerja untuk masyarakat Aceh tanpa ketergantungan dari APBA.
Kadin kini jadi acuan untuk contoh usaha kreatif di Aceh. Walaupun jumlah mereka mungkin kurang dari satu persen.
Meskipun, jika kita mau akui, label kreatif milik Aceh masih jauh berbeda dengan mayoritas daerah lainnya di Indonesia.
Jika di luar Aceh, yang dimaksud dengan orang-orang yang kreatif adalah mereka yang membuka peluang usaha dari keterampilan yang dimiliki. Usaha tadi, bisa berupa kerajinan tangan, skil, memanfaatkan barang bekas jadi benda bernilai seni tinggi serta usaha lainnya yang memberi peluang kerja bagi masyarakat lainnya.
Nah, untuk Aceh, kata kreatif ternyata belum sampai ketahapan tadi. Kaum satu persen di Aceh, sudah bisa dikatakan kreatif, jika mampu ‘mengolah sesuatu’ untuk mendatangkan pemasukan untuk pribadi atau organisasi.
Mengolah Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) bisa jadi salah satunya. Memanfaatkan koneksi di pemerintahan agar miliaran dana bisa masuk ke kas pribadi atau organisasi. Terserah itu legal, illegal atau lainnya. Yang penting dana tersebut bisa dikuasai untuk kepentingan pribadi. Sedangkan masalah moral dan etika, itu urusan yang ke seratus atau ke seribu.
Karena standar kreatif kita masih jauh dari daerah lain, maka wajar pula tingkat ketergantungan ekonomi Aceh masih bergantung sepenuhnya pada APBA. Ketika pembahasan APBA macet, maka macet pula ekonomi masyarakat.
Setingkat kaum satu persen ‘Kadin’ saja masih menetek pada APBA, konon lagi masyarakat di kampong-kampung yang tak memiliki pendidikan tinggi. Maka selaku masyarakat di luar kaum satu persen, kita berharap Kadin Aceh cepat tumbuh besar. Minimal tak lagi menyusu pada Pemerintah Aceh.
Karena dengan begitu, kita yang berada di luar kaum satu persen, bisa menikmati sedikit APBA.
Tapi selama Kadin Aceh masih menyusu, tentu hal itu musthahir kita peroleh. Kita cuma bisa berharap, kelak ketika Pemerintah Aceh selesai dengan ke-‘Makmur’-an, APBA bisa kita nikmati sama-sama. []