Berlin – Suatu malam di bulan November di kota Freiburg, Samuel yang berusia 19 tahun berganti pakaian setelah berolahraga ketika tiba-tiba seseorang menyerangnya dari belakang. “Kau Yahudi kotor,” teriak penyerang itu, lalu melemparkan kippah atau yarmulke milik Samuel ke tempat sampah.
Terkejut dan takut akan hidupnya, Samuel membagi pengalamannya di Facebook. Sebelum serangan itu, dia kadang-kadang mendapat “tatapan tidak menyenangkan” karena mengenakan topi yarmulke di depan umum. Tetapi dia belum pernah diserang sebelumnya.
Banyak orang bertanya kepada Samuel tentang kewarganegaraan penyerang, dengan asumsi bahwa penyerangnya adalah seorang Muslim. Samuel menganggap pertanyaan itu tidak relevan. “Antisemitisme adalah antisemitisme,” katanya, “tidak peduli siapa yang melakukannya.”
Akibat semakin maraknya antisemitisme di Jerman, sebuah LSM di Berlin berniat menyatukan umat Muslim dan Yahudi untuk memerangi diskriminasi melalui pendidikan.
Aycan Demirel, seorang Muslim dari Turki, sering menjadi saksi insiden antisemitisme di distrik Kreuzberg Berlin. Pada tahun 2000 ia bekerja sebagai pekerja sosial dan tinggal di sebelah sinagoge Fraenkelufer.
“Permusuhan, percakapan berbau antisemitisme tentang Yahudi – saya telah melihat berulang kali dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pekerjaan saya dengan anak muda setempat yang punya latar belakang migran,” ujar Demirel kepada DW.
Berawal di dapur
Gagasan untuk menciptakan Kreuzberg Initiative Gegen Antisemitismus (KIgA) lahir di dapur apartemen yang digunakan Demirel bersama dengan jurnalis Doris Akrap dan Deniz Yücel. Tahun 2017, Yücel dipenjara di Turki selama lebih dari setahun setelah dituduh melakukan spionase.
Pada saat itu, antisemitisme tidak hanya menjadi topik di Jerman, tetapi juga di Turki. Pada 15 November 2003, dua bom meledak di depan sinagoge Istanbul, menewaskan 24 orang. “Serangan ini berdampak pada kami,” kata Demirel. “Kami tidak ingin diam tentang hal itu.”
Lima belas tahun kemudian, KIgA menjadi pusat kegiatan pendidikan yang dikenal untuk memerangi antisemitisme dan islamofobia di masyarakat Jerman.
“Saat itu banyak yang berbicara tentang antisemitisme di antara para migran,” kata Demirel. “Itu mirip dengan berapa banyak orang yang sekarang berbicara tentang antisemitisme di antara para pengungsi. Jadi, penting bagi kita untuk menempatkan diri dalam posisi menentang.”
Anti-Semitisme tidak diimpor
Menyusul kedatangan lebih dari satu juta pengungsi sejak 2015 – banyak dari mereka yang Muslim – media Jerman berspekulasi tentang antisemitisme baru, yang “diimpor” dari Suriah dan negara-negara Arab. Hal itu mengkhawatirkan Demirel.
“Hari ini kita harus sangat berhati-hati berbicara tentang antisemitisme Muslim, karena ada juga gelombang gerakan sayap kanan, dan fokus utama mereka adalah sentimen antimuslim,” kata Demirel. Sebaliknya, ia ingin mendefinisikan Muslim sebagai mitra dalam perang melawan antisemitisme.
“Sebagai minoritas agama, Muslim dan Yahudi memiliki banyak kesamaan,” kata Demirel.
Pada bulan Oktober, sebuah sinagoge diserang di kota Halle, Jerman Timur. Pria bersenjata itu membunuh dua orang setelah gagal memasuki sinagoge. Dia mengaku memiliki motif antimuslim dan antisemitisme.
Ini menandai titik balik, setelah itu “ancaman antisemitisme tidak dapat lagi diabaikan oleh siapa pun,” Felix Klein, pejabat pemerintah urusan antisemitisme, mengatakan kepada DW sehari setelah serangan.
“Orang-orang Yahudi tidak boleh digambarkan hanya sebagai korban, seperti orang-orang yang dianiaya, dan kamp konsentrasi tahanan,” kata Klein. “Gambar yang menyimpang ini mengubah persepsi terhadap orang Yahudi.”
Pentingnya pendidikan
KIgA telah mengembangkan beberapa metode pendidikan, termasuk diskusi dan lokakarya untuk anak-anak sekolah dan guru. Lokakarya ini tidak hanya membahas Holocaust, tetapi juga teori konspirasi kontemporer dan konflik Israel-Palestina.
Hampir 1.800 pelanggaran antisemitisme dilaporkan di seluruh Jerman pada tahun 2018. Ada peningkatan 20% dari tahun sebelumnya. Menurut Portal Penelitian dan Informasi untuk antisemitisme (RIAS), di Berlin, tiap harinya ada dua insiden bermotif antisemitisme yang dilaporkan.
Hampir 30% dari insiden di Berlin terkait dengan kelompok sayap kanan. “Tapi tidak bisa dikatakan dengan mudah, bahwa antisemitisme hanya masalah di antara kaum sayap kanan,” Alexander Rasumny, dari pusat penelitian dan pelaporan RIAS, mengatakan kepada DW. Lebih dari 40% dari kasus-kasus tersebut tidak memiliki motif politik yang mudah diidentifikasikan.
“Fakta bahwa ada partai di parlemen Jerman dan parlemen negara bagian setempat yang membawa sikap antisemitisme ke politik mainstream, turut berkontribusi sehingga kebencian jadi hal normal,” kata Rasumny, merujuk pada partai AfD. Setelah pemilu 2017, partai AfD meraih 94 kursi di parlemen Jerman, Bundestag.
Kurang diskusi
Rasumny mengatakan keluarga-keluarga Jerman telah gagal membahas sejarah Nazi. Dan ini dapat berkontribusi pada meningkatnya sikap anti-Semitime.
“Sementara perdebatan terjadi di tingkat negara bagian (dalam politik), banyak keluarga masih belum menyentuh topik itu di rumah,” kata Rasumny.
Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh yayasan Remembrance, Responsibility and Future (EVZ), menemukan bahwa 35% orang Jerman percaya, bahwa kerabat mereka adalah korban kediktatoran Nazi. Tetapi kurang dari 20% mengatakan, anggota keluarga mereka adalah pelaku. Ini yang dianggap Rasumny sebagai “persepsi salah” dari era Nazi.