“Historia Vitae Magistra.”
Kalimat tadi dikemukakan oleh seorang filsuf Romawi bernama Cicero yang hidup pada 106 – 43 sebelum Masehi. Artinya sejarah adalah guru kehidupan.
Karena sejarah adalah catatan masa lalu yang dibaca dan dikenang oleh generasi masa depan. Tujuannya agar generasi masa depan dapat mempelajari apa yang terjadi di masa lalu. Tak mengulang kesalahan yang sama serta mempertahankan aspek positif untuk generasi selanjutnya.
Kalimat ini sepertinya tak berlaku di Aceh. Karena kita selalu mengulang kisah yang sama serta masuk dalam perangkap lubang yang sama pula. Akhirnya kisah Aceh seperti sinetron kejar tayang di Indonesia, yang berepisode ratusan tanpa alur yang jelas dan pemain yang bertukar-tukar.
Tapi inilah Aceh.
Dalam catatan sejarah, negeri di ujung barat Sumatera ini selalu bercerita tentang dua hal. Dua hal tadi adalah peng griek atau uang dan juga soal pengkhianatan.
Hal inilah yang selalu membuat Aceh ‘gagal’ merdeka serta harus memulai siklus dari awal kembali.
Orang Aceh sejatinya adalah orang-orang yang ‘memuliakan’ sejarah bangsanya. Namun khusus pada bab ‘kemegahan’.
Kita bangga dengan pencapaian Sultan Iskandar Muda dalam menaklukan negeri-negeri di selat Malaka dan sebahagian besar Sumatera. Tapi kita menolak sebahagian catatan sejarah lainnya yang menulis bahwa penaklukan itu tak disertai dengan pembangunan untuk daerah-daerah yang ditaklukan. Hanya perang, penaklukan dan kembali dilanjutkan dengan perang di daerah lain.
Kondisi inilah yang akhirnya dimanfaatkan Belanda dengan menghasut daerah-daerah taklukan Aceh untuk melawan.
Demikian juga pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Ketergantungan hidup masyarakat pada penguasa sangat tinggi saat itu. Maka konflik Aceh pun meletus. Harapannya adalah merdeka.
Namun perjanjian atau MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 justru membuat impian tadi memudar. Kini harapan hanya pada adanya pemerataan pembangunan di Aceh. Setidaknya, setiap butir perjanjian yang disepakati RI dan GAM dapat direalisasi demi kemakmuran masyarakat di Aceh.
Namun kemudian persoalan baru kembali muncul. Usai damai, yang terjadi di Aceh, adalah cuma penggantian rezim. Dari tiga pilkada terakhir, tak ada (belum ada) yang benar-benar focus pada upaya menagih janji Jakarta untuk Aceh.
Penguasa hanya berpesta pora pada dana diyat (Otsus) Aceh. Lalee dengon peng griek. Lupa pada tujuan awal perdamaian Aceh. Seolah-olah menuntut janji Jakarta hanyalah tanggungjawab GAM dan Parlok.
Kemudian rakyat hanya dijadikan alasan agar penguasa mendapatkan sejumlah uang dari Jakarta. Namun uang tadi hanya sebahagian kecil dialirkan ke masyarakat miskin.
Sebahagian besarnya untuk dinikmati birokrasi, dengan berbagai item anggaran seperti perjalanan dinas, rapat, ganti mobil, gaji serta item lainnya. Sementara pembangunan rumah duafa dibatalkan.
Birokrasi masih menjadi kroni-kroni penguasa dan keluarga. Imbasnya, kepercayaan public terhadap birokrasi kian melemah dari tahun ke tahun.
Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik baru yang lebih besar di Aceh. Kita akhirnya kembali ke siklus awal. Kembali ke lubang yang sama. Tak benar-benar belajar dari sejarah awal sebab konflik di Aceh meletus.[]