SABANG- Dewan Pimpinan Aceh (DPA), Partai Aceh (PA) bersama anggota DPR Aceh dan DPRK Partai Aceh (PA) se-Aceh, mengeluarkan lima pernyataan politik, yang dihasilkan dan disepakati bersama dalam Bimbingan Teknis (Bimtek) dan Pembekalan, 13-15 Desember 2019 di Mata Ie Resort, Kota Sabang.
Pernyataan itu dideklarasikan dari Nol Kilometer Indonesia, Kota Sabang, Provinsi Aceh, Minggu, 15 Desember 2019 siang, sebagai pesan khusus untuk rakyat Aceh bahwa Partai Aceh, akan terus berikhtiar untuk berbenah, memperjuangkan dan mempertegas perjuangannya terhadap hak-hak rakyat Aceh.
Selain itu, sebagai pesan moral dan konstitusional untuk Pemerintah Republik Indonesia (Jakarta), agar tetap konsistensi, memenuhi berbagai kesepakatan yang tertuang dalam MoU Helsinki dan turunannya yaitu; Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), yang merupakan hak khusus bagi Aceh.
Deklarasi ini disaksikan Ketua Umum dan Sekjen, Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh, H. Muzakir Manaf (Mualem) serta H. Kamaruddin Abu Bakar (Abu Razak).
Dipilihnya Nol Kilometer Sabang, merupakan sipirit (semangat) partai lokal yang lahir dari rahim perjanjian damai (Mou) Helsinki, 15 Agustus 2005 ini, untuk terus berkarya dan berbuat lebih nyata bagi rakyat Aceh serta mempertegas flatform perjuangan maupun pemantapan ideologi bagi wakilnya di parlemen, seluruh Aceh.
“Pernyataan politik itu, merupakan kesepakatan dan rekomundasi dari 18 anggota DPR Aceh dan 119 anggota DPRK Partai Aceh (PA) se-Aceh yang dideklarasikan pada Nol Kilometer Indonesia, Kota Sabang. Kami menyebutnya sebagai; Manifesto Nol Kilometer,” kata Juru Bicara (Jubir) PA, H.Muhammad Saleh, Minggu, 15 Desember 2019 di Kota Sabang.
Menurut Shaleh, begitu Jubir PA ini akrab disapa, lima manifesto itu adalah pertama, mendukung pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota di Aceh pada tahun 2022. Ini, sesuai ketentuan Pasal 65, Undang-Undang Pemerintah Aceh, Nomor: 11/2006, tentang Pemerintah Aceh.
“Keputusan ini kami lakukan dengan pertimbangan dan kajian mendalam terhadap berbagai aspek seperti efektivitas tata kelola pemerintahan, kondisi sosial, politik dan ekonomi Aceh bila Pilkada Aceh laksanakan serentak tahun 2024,” jelas Shaleh.
Artinya sebut Jubir PA ini, bila dilaksanakan tahun 2024, maka terjadi dua tahun masa “transisi” atau pelaksana tugas (Plt) pemerintahan di Aceh. Kondisi ini, tentu sangat tidak sehat dan menguntungkan bagi Aceh dari aspek apa pun.
Karena itu, Partai Aceh mengajak seluruh elemen rakyat Aceh, termasuk partai politik nasional (Parnas) dan Partai Lokal (Parlok), akademisi, mahasiswa, aktivis LSM maupun media pers, untuk bersama, melakukan kajian mendalam masalah tersebut.
“Selain itu, yang paling utama adalah, mempertahankan UUPA secara konsekwen, sehingga tidak membuka berbagai ruang bagi pihak tertentu yang ingin merusak kekhususan Aceh,” tegas Jubir PA, Muhammad Saleh.
Kedua, DPA Partai Aceh bersama anggota DPR Aceh dan DPRK Partai Aceh (PA) se-Aceh, memastikan anggaran pembangunan 2020, baik tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota, wajib berpihak pada ekselerasi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, yang tercermin pada besarnya porsi belanja rakyat, dibandingkan aparatur.
“Misal, peningkatan kualitas sumber daya manusia di sektor pendidikan umum, dayah dan pesantren serta pelayanan kesehatan maupun peningkatan pembangunan yang mampu menstimulus tumbuhnya ekonomi mikro dan makro, sehingga mampu membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat Aceh. Karena itu, anggota DPR Aceh diperintahkan oleh pimpinan Partai Aceh untuk mengkaji dan mengawasi secara kritis perjalanan APBA 2020,” jelas Shaleh.
Ketiga, anggota DPR Aceh dan DPRK Partai Aceh se-Aceh, akan mengevaluasi qanun-qanun yang sudah disahkan, dengan tujuan dapat dilaksanakan, sesuai kehendak perdamaian, demi meningkatkan pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Aceh.
“Secara internal, kami sedang mengodoknya. Dan, finalisasi kerja besar ini, akan kami libat sejumlah elemen masyarakat sehingga produk yang dihasilkan nantinya benar-benar menjadi satu keputusan politik bersama,” jelas dia.
Keempat, masih munculnya konflik regulasi terhadap pengelolaan minyak dan gas (Migas) Aceh, semakin menuntut adanya sikap tegas dari Pemerintah Aceh. Karena itu, wakil rakyat dari Partai Aceh meminta agar regulasi yang telah tercantum dalam MoU Helsinki dan UUPA, harus terus diperjelas dengan tegas.
“Misal, pengelolaan minyak dan gas (Migas) Aceh dengan hak pembagian hasil sebesar 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk pemerintah pusat. Termasuk pengelolaan Migas di atas 12 mil laut teritorial Aceh sebesar 50 persen untuk Aceh dan 50 persen untuk pemerintah pusat,” ujar Shaleh.
Kelima, sesuai semangat reforma agraria yang dicanangkan Presiden RI Joko Widodo dan surat edaran Gubernur Aceh, tentang pengentasan kemiskinan dengan penyediaan lahan untuk eks kombatan, korban konflik dan tapol-napol. Sesuai amanat MoU Helsinki, 15 Agustus 2005, maka perlu segera dilaksanakan evaluasi dan audit keberadaan konsesi kepemilikan lahan dan audit kepemilikan lahan dengan skema HGU yang ada di Aceh.
“DPA Partai Aceh dan seluruh anggota DPR Aceh dan DPRK Partai Aceh se-Aceh, mendesak Pemerintah Aceh untuk memperjelas otoritas tata kelola pertanahan di Aceh, menjadi kewenangan mutlak Pemerintah Aceh,” ungkap Shaleh. []