Kekhawatiran masyarakat atas dana otonomi khusus Aceh semakin hari kian tidak terbendung lagi. Misalnya beberapa artikel sepanjang 2008 hingga 2018 mempertanyakan bagaimana mungkin dana triliuan rupiah tidak dapat mensejahterakan rakyat Aceh. Tentu ada kejanggalan dalam penerapan dana otonomi khusus Aceh (DOKA) tersebut. Sejatinya perdebatan ini hangat pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Turunan dari UUPA dituangkanlah dalam bentuk Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. Qanun No. 1 Tahun 2006 ini memberikan kewenangan penuh penggolaan DOKA bagi provinsi.Hal ini didasarkan atas penafsiran Pasal 183 ayat (5) bahwa program pembangunan yang disepakati antara provinsi dengan kabupaten/kota pelaksanaanya dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh.Namun faktanya kewenangan ini sebagian dilimpahkan ke kabupaten/kota untuk mengakomodasi permintaan dari sejumlah bupati/walikota.
Qanun No.1 Tahun 2006 direvisi menjadi Qanun No. 2 Tahun 2008, kewenangan pengelolaan ditarik kembali ke provinsi setelah diberikan selama dua tahun pelaksanaannya kepada kabupaten/kota. Beberapa pertimbangannya antara lain ketidakpatuhan kabupaten/kota dalam perencanaan program, pengalokasian anggaran yang tidak sesuai juknis DOKA, lambatnya pelaksanaan fisik di lapangan yang menyebabkan sejumlah proyek kembali terbengkalai. Selang satu dekade kemudian, sejak pertama DOKA diberikan pada 2008 oleh pemerintah pusat, sharing kewenangan mencuat kembali dengan rencana revisi Qanun Nomor 2 Tahun 2008. Ide pelimpahan kewenangan ini sangat alot dibahas di DPRA bersama pihak legislative akhirnya disetujui juga.
DOKA 40% yang dikelola oleh kabupaten/kota adalah salah satu poin yang akan dikembalikan dalam rancangan perubahan Qanun No. 2 Tahun 2008. Berapa parameter penentuan besaran alokasi anggaran yang akan diterima oleh masing-masing kabupaten/kota sebagaimana diusulkan oleh fraksi Partai Aceh maupun fraksi lainnya di DPRA menjadi penting yang perlu dipertimbangkan. Parameter luas wilayah indeks kemahalan kontruksi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) harus mampu memberikan keadilan bagi masing-masing kabupaten/kota terhadap besaran pagu yang diterima. Momentum ini setidaknya awal untuk me-redesign kembali pengelolaan DOKA.
Sejatinya angka 40% pagu dana Otsus yang akan dikelola oleh kabupaten/kota cukup ideal. Angka ini sebenarnya sudah pernah muncul saat kewenangan pengelolaan anggaran yang diberikan ke kabupaten/kota. Bahkan usulan porsi 60% untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi yang dilakukan secara bertahap patut pula dipertimbangkan karena usulan 60% untuk kabupaten/kota merupakan usulan batas akhir.
Sejak tahun 2008 hingga 2017 Aceh telah menerima dana Otsus 56,67 triliun dan telah menjadi sumber penerimaan utama bagi Pemerintah Aceh dengan rata-rata peningkatan sebesar 11 persen pertahunnya, selama 20 tahun jangka waktu berlakunya dana otsus Aceh diperkirakan akan menerima sebesar Rp 163 triliun. Penggunaan DOKA dimandatkan dalam undang-undang dan qanun untuk membiayai 7 sektor pembangunan yaitu: infrastruktur, ekonomi, kemiskinan pendidikan, sosial dan kesehatan.
Dilemanya adalah bahwa infrastruktur dan pendidikan lebih banyak mendapatkan porsi dari DOKA. Misalnya saja data Bapeda Provinsi Aceh menguraikan alokasi infrastruktur terbesar sejak tahun 2008 terhitung sebesar 13,7 T hingga tahun 2015. Alokasi infrastruktur tercatat rata-rata 36 persen setiap tahunnya, yang mencerminkan prioritas pembangunan Aceh disamping pendidikan. Kedua bidang ini memiliki porsi sebesar 50 persen dari keseluruhan alokasi DOKA pada tahun 2015. Sedangkan bidang ekonomi dan pengentasan kemiskinan tercatat hanya 34 persen dari keseluruhan alokasi.
Bahwa dalam kurun waktu 8 tahun pengelolaan DOKA telah melaksanakan tiga model tata kelola, namun penerapan tata kelola DOKA ini terpusat di provinsi sehingga pengelolaan DOKA dinilai kurang efektif, sedangkan model kedua pengalokasian DOKA kepada kabupaten/kota tidak dalam bentuk dana tunai melainkan dalam bentuk pagu yang ditetapkan oleh Pemerintah Aceh dan memberikan kewenangan yang lebih besar pada pemerintah kabupaten/kota. Model tata kelola yang ketiga yang dikritisi adalah memberikan kewenangan penuh terhadap kabupaten/kota melalui mekanisme transfer langsung atas DOKA yang dimulai sejak tahun 2013. Namun kesemua model tata kelola dinilai sampai sekarang belum efektif dirasakan oleh masyarakat Aceh secara menyeluruh.
Di Aceh sendiri DOKA hanya dipahami sebagai dana tambahan bagi APBA dan APBK sehingga tidak ada program-program khusus sebagai implementasi Otsus. Sebenarnya kalau dilihat peluang Aceh memiliki kesempatan yang besar untuk melakukan lompatan transformasi pembangunan dengan ketersediaan sumber daya fiskal yang signifikan. Akan tetapi, transformasi tersebut hanya dapat terealisasi jika sumber daya tersebut digunakan secara efektif. Pernyataan di atas tim peneliti buktikan dengan Laporan Penelitian Pusat Pengembangan Keuangan Daerah Aceh yang menyatakan bahwa bidang perencanaan masih belum mengatur tata kelola dana otsus yang dialokasikan untuk provinsi, bidang pelaksanaan, dan bidang pengawasan serta beberapa permasalahan lainnya. Kemudian hal ini seyogyanya fokus Pemerintah Aceh dan DPRA terkait tata kelola dana otonomi khusus di Aceh berdasarkan asas-asas umum pengelolaan keuangan negara baik secara hukum maupun secara ekonomi.

Di sisa DOKA sebaiknya ada beberapa hal yang harus dilakukan: Pertama, mengindentifikasi tantangan yang terjadi pada proses perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring/evaluasi pada masing-masing tata kelola DOKA. Kedua, menganalisis efektifitas pelaksanaan DOKA disemua kabupaten/kota menurut masing-masing ditinjau dari perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi. Ketiga, kebijakan DOKA ini dapat menjad referensi bagi para pengambil kebijakan desentralisasi asimteris dalam menentukan model tata dana otonomi khusus di Indonesia yang akan datang.
Terkait sasaran yang ingin dicapai serta lokasi pelaksanaan kegiatan diantara lain: Tentu salah satu capainya adalah pengusul ingin masyarakat betul merasakan DOKA mulai dari pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Karena menurut data yang tim peneliti uraikan bahwa pembangunan infrastruktur terbesar sehingga mendikotomikan program yang lain. Pelaksanaan kegiatan akan dilakukan diseluruh Provinsi Aceh meliputi instansi yang terlibat dengan pengelolaan DOKA di seluruh kabupaten/kota Provinsi Aceh.
Penulis adalah Muhammad Ridwansyah, Peneliti Senior Wain Advisory Indonesia dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Aceh, sekaligus Staf Ahli Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia TA 2018 .