SUASANA terasa sepi. Ada beberapa kuburan di sana yang diselimuti tumbuhan liar. Mereka seakan memeluk jasad jasad yang sedang tertidur abadi. Menunggu hari kebangkitan tiba. Di sana juga gundukan tanah yang masih terlihat baru. Sejumlah kerikil bertaburan. Ada batu nisan kecil di ujungnya.
Gundukan tanah itu adalah milik almarhum Muhammad Rizal, mahasiswa UIN Ar-Raniry. Sang pembawa bendera bulan bintang di demonstrasi pada 15 Agustus 2019 itu, yang kini telah pergi selama-lamanya menghadap Sang Pencipta.
Kisah Muhammad Rizal tak setenar nama aktivis kawakan semasa Aceh masih berkecamuk perang.
Almarhum adalah mahasiswa biasa. Sesekali turun ke jalan untuk mengingatkan pemerintah atas kekurangan yang terjadi. Inilah yang dia dan mahasiswa UIN Ar-Raniry lakukan pada 15 Agustus 2019 lalu.
Sebelum aksi, dia diminta oleh pimpinan mahasiswa di kampus tempatnya kuliah, untuk membawa bendera bulan bintang yang sudah disahkan oleh DPR Aceh beberapa tahun silam. Katanya, bendera itu sudah sah. Namun Pemerintah Aceh masih enggan mengibarkan bulan bintang.
DPR Aceh sendiri telah mendirikan tiang untuk pengibaran bulan bintang. Sesuai qanun, tiang ini sedikit lebih pendek dari tiang bendera merah putih yang menjadi bendera kedaulatan NKRI. Namun tiang untuk bulan bintang masih kosong selama bertahun-tahun, tak ada bendera yang berkibar di sana.
Keadaan inilah yang coba diingatkan oleh demonstran UIN Ar-Raniry. Salah seorang di antaranya adalah almarhum Muhammad Rizal.
![](http://atjehwatch.com/wp-content/uploads/2020/01/mahasiswa-paksa-naikkan-bendera-bulan-bintang-di-gedung-dpra-300x168.jpg)
Naas, di hari yang ditunggu-tunggu, demontrasi justru berlangsung ricuh. Mahasiswa mencoba mengibarkan bulan bintang di tiang yang kosong. Namun dihalangi oleh aparat keamanan yang bertugas mengawal demo. Ketua komisi I DPR Aceh, Azhari Cage yang mencoba merelai suasana, justru jadi korban pengeroyokan.
Pasca demo, Forkab melaporkan kasus tersebut ke Polda Aceh, atas dasar dugaan pencobaan penurunan bendera merah putih.
Muhammad Rizal dan beberapa aktivis mahasiswa dari UIN Ar-Raniry akhirnya harus berurusan dengan Polda Aceh.
“Sempat tidak mendapat pendampingan hukum. Saya, sebagai dosen kelasnya, mendampingi sepenuh hati,” cerita Taufik Abdullah, dosen UIN Ar-Raniry, di salah satu grup WhatsApp.
Terakhir, tulis Taufik, untuk pemeriksaan lanjutan, sebelum divonis sakit kronis, almarhum datang ke rumahnya untuk meminta dirinya ikut kembali mendampinginya, walaupun telah sama-sama telah mendapat bantuan hukum dari Tim Advokasi Presma UIN.
Kemudian cerita dosen ini, dirinya mendapat kabar kalau Muhammad Rizal sakit dan harus diopname. Sekitar 15 hari lebih dirawat di Lhokseumawe dan 4 hari di Sigli.
“Almarhum mendapat perawatan medis karena muntah. Sebelum sembuh, dan sebelum sempat mendampinginya, Allah SWT telah berkehendak. Rizal telah tiada.. Sedihku, dan marahku meledak..aku berdoa sebisaku dalam tangis, airmataku tumpah di makamnya,” tulisnya lagi.
Kini Muhammad Rizal telah pergi selama-lamanya. Gundukan tanah di makamnya masih baru. Di sana ia terbaring kaku hingga akhir dunia tiba nanti.
Usai demontrasi, isu bendera bulan bintang meredup. Beberapa mahasiswa, masih harus memenuhi panggilan polisi. Sedangkan Muhammad Rizal tak lagi bisa hadir ke ruang pemeriksaan. Karena ia kini tertidur damai di kampung halamannya, Garut, kabupaten Pidie.
Polisi juga memanggil Azhari Cage, yang kini berstatus mantan ketua Komisi I DPR Aceh. Ia sudah menjalani 4 kali pemeriksaan di Polda Aceh. Dalam pemeriksaan terakhir, ia dikonfrontir dengan beberapa mahasiswa yang mengikuti aksi tadi.
Sementara pengeroyok dari aksi yang berlangsung ricuh tadi, hanya ditetapkan satu orang atas nama Didi. Pengadilan Negeri Banda Aceh, Jumat 24 Januari 2020, menyatakan Didi bersalah dan memberi putusan 4 masa percobaan atas penganiayaan ringan.
Selamat jalan Muhammad Rizal. Tidurlah yang tenang di sana. []