IBNU masih terpaku. Usai salat magrib, ia kembali mengambil STNK tadi dalam tas jinjing miliknya dan mengamati dengan seksama. Di situ tertera nama gadis tadi. “Riska Hadayani.”
Ia lupa menyimpan nomor handphone sang gadis. Ibnu berharap sang gadis bisa menghubunginya segera. Pasalnya, sepeda motor milik sang gadis tadi ternyata tak rusak. Hanya businya yang kotor.
“Sudah siap, Nu. Tak perlu bayar,” ujar Bang Ilham, pemilik bengkel di kawasan Rukoh, tadi jelang magrib. Bang Ilham hanya mengotak-atik sepeda motor itu beberapa detik dan kemudian selesai. Pemilik bengkel ini merupakan kenalannya selama ini. Ia sering bantu-bantu di bengkel tadi ketika akhir pekan tiba.
Demi bertahan hidup di Banda Aceh, ia rela bekerja apapun asal halal. Uang hasil kerja digunakan untuk bertahan hidup, selebihnya untuk simpanan guna meraih target pendidikan lanjutan di luar negeri nantinya.
Ibnu juga ingat diberikan uang 50 ribu oleh sang gadis tadi. Uang itu masih utuh di dompetnya. Ini lembaran uang dengan nominal paling tinggi yang dipegangnya dalam sebulan terakhir.
Ibnu juga tak lagi khawatir kalau bakal ditipu dengan gadis cantik yang baru dikenalnya tadi sore. Pasalnya, sepeda motor sang gadis jauh lebih bagus dari Supra Fit keluaran lama miliknya yang dipinjam sang gadis.
“Tapi mengapa gadis itu begitu percaya samaku. Padahal baru kenal,” gumam Ibnu dalam hati.
Tiba-tiba mata Ibnu melihat sesuatu di bawah nama Riska Hadayani yang tercatat di STNK sang gadis. “Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.”
Petunjuk itu membuat mulutnya terbuka lebar. “Ooo…dia asal Jawa. Pantas tadi disebut-sebut Mas-mas,” gumam Ibnu mengakhiri rasa penasarannya.
Ia kemudian rebahan di atas kasur yang hanya dibungkus kain hijau. Ibnu mengambil buku Aceh Sepanjang Abad di rak dan membacanya. Namun baru beberapa lembar, handphone miliknya berdering. Di sana terlihat sederetan nomor baru tanpa nama. Ia menduga bahwa nomor itu milik sang gadis.
“Assalamualaikum, dengan siapa ini.”
Di seberang telepon justru terdengar riuh. Ada suara tawa wanita, yang diduga Ibnu, lebih dari satu orang. Namun dalam sekejab, suara di sana tiba tiba jadi hening.
“Walaikumsalam Mas. Ini Riska yang minta tolong tadi sore.” Suara itu terdengar, halus dan sopan. Ia tipikal gadis Jawa pada umumnya.
“Ooo buk Riska. Motornya sudah di asrama saya. Apa mau diambil sekarang? Hanya businya yang kotor. Tadi sudah diperbaiki, dan tak dimintai ongkos sama yang punya bengkel,” jelas Ibnu.
Suasana kembali hening.
“Alhamdulillah Mas. Besok pagi saja saya ambil ya. Saya percaya kok sama Mas. Mas orangnya baik.”
Mendengar pujian tadi, membuat Ibnu terkesima. Ini merupakan kali pertama ia berbicara dengan gadis yang baru dikenalnya dengan durasi yang agak lama. Terlebih, gadis itu berasal dari luar Aceh.
Biasanya ia lebih tertutup. Apalagi untuk orang yang baru dikenalnya. Tapi gadis itu menjadi pengecualian malam ini.
“Terimakasih atas kepercayaannya. Saling tolong menolong itu adalah kewajiban seorang muslim. Apalagi terhadap orang yang sedang membutuhkan seperti buk Riska tadi.”
Penjelasan Ibnu kali ini, sedikit lebih panjang. Ia tiba-tiba merasa malu dengan diri sendiri. Khawatir dikira sedang ceramahi lawan bicaranya itu.
“Jangan panggil buk dong, Mas. Panggil Riska saja.”
Kini giliran Ibnu yang terdiam. Entah kenapa ia menjadi dekat dengan sosok yang baru dikenalnya itu. Padahal selama ini, ia tidak percaya kepada siapapun. Ia lebih memilih menjauh setiap ada lawan jenis yang coba mendekat dan mengenalnya.
Ia hanya ingin focus pada tujuan. Ibnu ingin menjalankan wasiet dari orangtuanya. Untuk itu, ia rela menguburkan seribu cinta. Apalagi jika cinta itu adalah romansa anak-anak yang hanya menghalangi tujuannya.
[Bersambung]