+++
UJIAN akhir sekolah berjalan dengan mulus. Riska yakin bakal dapat nilai bagus dan lulus dengan prediket terbaik. Namun hal itu semakin membuatnya dilema.
Dilema karena ia bersyukur bakal segera bertemu dengan ayahnya di Aceh. Namun di sisi lain, ia juga bakal segera berpisah dengan Si Mbok, Tante Uti dan teman-temannya di Ngawi.
Ada banyak kenangannya di Ngawi. Ia juga tak lagi berziarah di makam ibunya saat sedih atau rindu.
Ia tak bisa lagi makan Tepo Tahu kesukaannya di warung Mang Rojak dan menghabis waktu di sana bersama Sri dan Dela.
Ia akan kangen dengan kedua sahabatnya itu. Tawa dan canda mereka yang selalu mengisi hari-harinya selama ini.
Aceh, adalah nama asing yang kian akrab dengannya selama beberapa tahun terakhir. Negeri asing yang akan segera ditempatinya nanti selama beberapa tahun kedepan, atau minimal hingga ayahnya kembali pindah tugas ke tempat lainnya.
Ia berat untuk pergi ke Aceh. Namun di sanalah, ayahnya kini berada.
“Percaya Nak, kau akan jatuh hati dengan daerah ini begitu tiba nanti.”
Itu adalah jawabannya ayahnya atas keraguan dirinya selama ini. Jawaban yang membuat Riska sedikit lebih melunak soal Aceh.
“Aceh adalah daerah kelahiran ibumu. Daerah yang ingin diperlihatkan kepadamu suatu saat kelak,” ujar sang ayah beberapa hari lalu melalui sambungan telepon.
Riska tahu jika ibunya lahir di Aceh. Namun ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengenal dan mendapatkan kasih sayang darinya. Ibunya meninggal saat melahirkan dirinya. Selama ini, ia hanya melihat sosok yang dikangeninya itu melalui foto kusam.
Ada rindu yang amat sangat saat ia mengenang ibunya. Rindu yang selalu ditumpahkannya di makam sang ibu.
Riska tahu jika ayahnya juga mengalami rindu yang sama. Atas dasar itu, sang ayah mengajukan diri untuk pindah ke Aceh pada pimpinan di tempat ia mengabdi separuh jiwa selama ini. Padahal Aceh adalah daerah bekas konflik dan tsunami.
Saat yang lain lari dan menjauh dari Aceh, sang ayah justru ingin bertugas di sana.
Aceh, tanah yang begitu dirindukan ibunya semasa hidup. Daerah itu kini juga memikat hati ayahnya.
Riska tertunduk lesu.
Ia ingin menghabiskan waktu bersama sang ayah. Melihat wajahnya setiap hari dan menemani hari-harinya.
Ia sudah kehilangan sang ibu sejak kecil. Ia juga terbiasa melalui hari-hari tanpa kehadiran sang ayah yang berpindah-pindah tugas ke daerah daerah yang jauh dari tanah Jawa.
Kini ayahnya meminta ia untuk menemaninya di Aceh. Permintaan yang dua tahun lalu ditolaknya karena keegoan remaja.
Penolakan itu disesalinya selama dua tahun terakhir. Dua tahun yang dilaluinya tanpa ayah di sisinya.
Seandainya ia tak menolak ke Aceh, dua tahun lalu, saat ayahnya ditugaskan ke sana, mungkin ia bisa melihat senyum sang ayah setiap hari. Ia tak harus menyimpan rindu yang kian menumpuk dari hari ke hari.
Kini hari-hari penantian itu kian dekat. Ia akan segera bertemu dengan sang ayah. Ia akan melihat negeri yang membuat ibunya menanggung rindu. Negeri yang didera konflik panjang dan deretan bencana alam.
“Yah, apakah Riska harus pakai jilbab juga seperti ibu semasa hidup?” tanya dirinya kepada sang ayah dalam telepon terakhir.
Ayahnya tak langsung menjawab saat itu.
“Berjilbab itu harus datang dari hati, Nak-ku. Ayah tak ingin jilbabmu terpaksa. Apalagi karena hendak tinggal di Aceh,” jawab ayahnya kemudian.
Ayahnya orang yang keras di masa lalu. Petarung jalanan semasa SMA. Namun egonya dilembutkan dengan kehadiran istri yang muslimah dan santun. Namun kebersamaan mereka hanya sebentar. Hal ini pula yang membuat sosok itu merasa bersalah bertahun-tahun. Seolah-olah kematian istri adalah kesalahannya.
Sikap sang ayah juga membuat Riska menanggung rindu. Tapi rindu itu kini di ujung penantian. Hanya berbilang Minggu, ia akan segera mendarat di negeri paling barat pulau Sumatera itu.
Negeri yang kabarnya memiliki keindahan alam setara dengan pulau Bali. Tapi dicerca dengan beribu masalah.
[Bersambung]