+++
Praka Dedi hadir 45 menit lebih cepat. Kali ini ia memakai baju koko serta celana kain panjang. Ini saran teman-temannya di Brawijaya. Untuk merebut hati seorang muslimah, ia diminta berpenampilan seperti ustaz pula.
Tapi ia sendiri belum merasa nyaman dengan pakaian tersebut. Namun jika memakai pakaian militer, ia justru takut jika sang gadis mengiranya sombong. Bahkan sang gadis bisa mengingat kenangan ayahnya yang baru dimakamkan.
Ia mengamati sekeliling. Shaf pria masih kosong. Demikian juga dengan lokasi wudhu. Sementara shaf perempuan tertutup rapat dengan tirai berwarna biru laut.
“Aku harus belajar wudhu dulu. Karena nanti ramai, aku tak ingin ditegur sama jamaah lain jika salah. Itu akan sangat memalukan,” gumamnya dalam hati sambil mengangguk. Ia kemudian menuju ke lokasi wudhu lagi.
Ia mempraktekan apa yang dibacanya semalam dari buku tuntutan salat lengkap. Awalnya ia melakukan beberapa kesalahan kecil dalam tatacara wudhu. Namun kesalahan tersebut diperbaikinya dengan mengulang dari awal.
Usai wudhu, ia melihat ke halaman masjid. Namun sang gadis belum juga muncul.
“Lebih baik aku masuk masjid. Duduk di dalam lebih baik. Kalau gadis itu datang dan melihatku di dalam masjid, tentu ia akan tersentuh,” gumamnya.
Di shaf pria, ternyata baru dia dan seorang pria paruh baya yang tiba-tiba terlihat sudah berada di sana. Pria paruh baya itu sedang salat, tapi dua rakaat. Dedi memperhatikan gerak pria itu, persis seperti yang digambar di buku.
Namun ia lebih memilih duduk. Jika ia mengikuti lelaki tua di depannya, ia takut berbuat salah dan akhirnya menjadi bahan tawaan jamaah lain yang bisa datang kapan saja.
Entah kenapa matanya sangat berat saat itu. Padahal kemarin, ia dinas pagi. Namun semalam ia memang tak bisa tidur untuk pertemuan hari ini. Ia membaca beberapa buku hingga pukul 04.00. Sementara pagi tadi hingga pukul siang, ia kembali bertugas di Brawijaya dengan seabrek aktivitas yang melelahkan.
Kini ia kembali ke Masjid Rahmad untuk bertemu dengan gadis impiannya itu. Ia tak ingin kejadian memalukan kemarin kembali terulang.
Ia merasa sangat damai berada dalam masjid.
Angin yang berhempus sepoi-sepoi. Udara yang nyaman seakan membuainya terbuai dan tenang.
“Ananda.”
“Ananda, bisa dengar bapak,” suara itu tiba-tiba terdengar. Ada guncangan kecil di bahu kanannya. Dedi membuka mata. Ia memang sudah biasa tertidur sambil duduk. Militer melatihnya untuk siaga setiap saat.
Saat itu ada 6 jamaah yang entah kapan datang, memandangnya dengan sorotan takjub. Dedi merasa malu. Apalagi jika jamaah ini tahu kalau dirinya sedang tidur.
“Maaf bapak-bapak. Saya larut dalam zikir,” ujarnya kemudian. Ia berbohong untuk menutup malu.
Penjelasan Dedi membuat para jamaah tersentak.
“Masya Allah,” ujar mereka serentak.
Pria paruh baya tadi mendekatinya dan memeluk. “Belum pernah bapak lihat, jamaah setenang ananda dalam zikir,” ujarnya dengan wajah terharu. Dedi merasa serbasalah.
“Ananda maaf bapak tadi mengganggu. Muadzin belum datang. Sementara waktu salat sudah tiba. Bisakah ananda bantu bapak untuk azan?” ujar pria paruh baya itu lagi. Dedi kelabakan mendengar permintaan bapak tadi.
“Suara bapak sudah tua. Sementara jamaah lain tidak bisa azan,” ujar bapak-bapak tadi sambil menunjuk ke arah jamaah lainnya. Mereka tertunduk malu.
Kepala Dedi tiba tiba merasa seperti dihantam batu besar.
“Ya tuhan. Cobaan apalagi ini,” gumamnya dalam hati. Badannya mulai terasa panas dingin. Sementara beberapa jamaah memandangnya dengan wajah mengiba. Lelaki paruh baya di sampingnya tersenyum ikhlas.
“Haruskah aku mengatakan baru pertama kali ini masuk masjid setelah belasan tahun? Itupun karena seorang wanita?” gumamnya. Matanya mulai berkunang-kunang.
[Bersambung]