BAGI Praka Dedi, sikap terus terangan Nurul terhadap kekurangannya merupakan sisi positif yang jarang ditemuinya pada sejumlah wanita yang ditemuinya selama ini. Ia memiliki belasan mantan pacar, tapi tak satu pun yang membuatnya untuk mengubah kekurangan buruknya itu.
Hal ini pula yang membuatnya semakin mantap untuk menikahi gadis itu meskipun mereka baru kenal.
Praka Dedi mengutarakan isi hatinya melalui sambungan telepon dengan gadis itu. Ia siap ditolak dan dijauhi oleh sang gadis.
“Terimakasih bukunya, dik. Mas akan coba belajar untuk jadi lebih baik,” ujarnya melalui sambungan telepon malam harinya. Kalimat tersebut paling berat diungkapkannya selama ini meskipun melalui telepon.
Namun Praka Dedi sendiri sudah nekat. Apapun jawaban dari sang gadis akan diterimanya.
Namun sang gadis justru terdiam.
“Iya,” jawab sang gadis singkat.
“Dik. Mau tidak, Dik Nurul jadi pacar saya,” ujar Praka Dedi lagi. Namun suara di balik telepon justru sunyi. Tak ada jawaban.
“Maksudnya calon istri Mas,” ujar Dedi lagi mengklarifikasi kalimat sebelumnya. Dedi teringat dengan statemen Syuhada. Seorang muslimah tak akan berpacaran. Jika ingin dekat dengan sang gadis itu, maka ia harus segera melamar sang gadis ke orangtuanya. Untuk itu, Praka Dedi sudah siap.
Nurul lagi-lagi tak bersuara di seberang sana. Namun telepon masih tersambung.
“Maaf Mas mengutarakan isi hati tiba-tiba. Mas hanya tak mau jika nantinya Dik Nurul memilih lelaki lain karena Mas tidak berani terus terang,” ujar Praka Dedi lagi.
Suasana kembali berubah hening.
Jantung Praka Dedi berdetak kencang. Ia khawatir jika sikapnya tersebut membuat sang gadis di balik telepon salah sangka.
Dup…dup, dup.
“Saya hargai perasaan Mas. Nurul sendiri siap tapi keluarga mungkin belum. Apalagi orangtua Nurul baru meninggal,” ujar sang gadis.
“Mohon diberi waktu 6 bulan kedepan. Usai 6 bulan, datanglah ke rumah bersama orangtua Mas. Apapun jawaban dari keluarga Nurul, berarti itulah takdir kita kedepan,” kata gadis muslimah itu.
Jawaban Nurul membuat hati Praka Dedi plong. Ia seperti gunung merapi yang diguyur hujan es.
Itu merupakan jawaban yang paling bijak yang didengarnya selama beberapa tahun terakhir. Praka Dedi sadar dengan masa duka yang masih dilalui oleh sang gadis pasca pemakaman militer beberapa waktu lalu.
Sang gadis terlihat sangat berduka saat itu. Namun ia juga khawatir jika kesempatan yang ada justru disia-siakan. Ia yakin kesempatan tersebut bakal disalip oleh para lelaki lain jika ia tak segera melamar.
“Baik Dik Nurul. Selama enam bulan kedepan, Mas akan coba belajar lebih baik. Nanti keluarga Mas akan datang ke rumah,” ujar Praka Dedi.
Usai beberapa menit kemudian, komunikasi mereka terputus. Ini permintaan dari sang gadis itu sendiri. Sang gadis mengaku akan segera pulang ke Ngawi bersama ibunya. Ini karena urusan mereka di Brawijaya sudah selesai.
Sang gadis tak ingin berlama-lama komunikasi dengan lelaki yang bukan muhrimnya. Menurut sang gadis, Praka Dedi belum menjadi suaminya, maka status mereka masih tetap non muhrim. Sikap sang gadis semakin membuatnya yakin dengan wanita itu.
Praka Dedi mulai melalui hari-hari dengan hati yang berbunga-bunga. Ia mulai rajin menghadiri majelis keagamaan, membaca buku hingga aktivitas keagamaan lainnya. Semua itu dilakukannya di luar aktivitas kedinasan.
Ia juga mulai mengajukan surat izin nikah ke Brawijaya sebagai syarat dalam kesatuan militer.
Semua aktivitas tadi berlangsung dengan lancar.
Praka Dedi hanya sesekali mengirim pesan ke Nurul untuk menanyakan kondisi sang gadis di Ngawi.
Ia mencoba menahan diri hingga proses ijab Kabul berlangsung. Ia ingin hari itu menjadi hari yang special bagi mereka berdua.
Dan enam bulan ternyata berlalu dengan cepat. Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba.
[Bersambung]