BANGUNAN itu terbuat dari kayu. Alasnya hanya tikar biasa yang terhampar. Beberapa anak-anak terlihat giat belajar dengan berbagai posisi duduk.
Di depan terlihat pria muda yang memakai kain sarung dan peci hitam. Dia adalah Amalan Shalihan. Pria muda itu akrab dipanggil Amalan. Dia merupakan alumni dari Fakultas Tarbiyah Bimbingan Konseling UIN Ar-Raniry dan angkatan 2006.
Amalan adalah guru sekaligus penyuluh honorer yang ditempatkan Kemenag Aceh di Dusun Kala Wih Ilang, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh.
Daerah ini cukup terpencil dan jauh dari keramaian kota. Dari pusat kota Aceh Tengah ke pusat Wih Ilang sekitar 25 menit. Kemudian dari pusat kampung ke dusun Wih Ilang sekitar 30 menit lagi.
Untuk menuju daerah ini, jalannya cukup terjal dan tidak bisa ditempuh dengan mobil biasa. Harus Double Cabin. Kalau hujan, jalan berlumpur. Kalau sedang terik, bongkaran tanah dari tebing dan jalan sering amblas.
Di sanalah, Amalan mengabdi sepenuh jiwa selama beberapa tahun terakhir.
“Alhamdulillah, kalau saya sudah terbiasa,” ujar Amalan, didamping Teungku Hambali dari Kemenag Aceh Tengah, Senin 2 Maret 2020.
Berdasarkan data dari Kemenag Aceh Tengah, dusun Wih Ilang merupakan daerah pelosok yang memang perlu perhatian dari semua pihak.
Di Dusun Wih Ilang, tercatat dihuni oleh 87 kepala keluarga. Mayoritas di antaranya merupakan petani kebun serta pengungsi dari Sumatera Utara pasca meletusnya gunung Sinabung beberapa waktu lalu.
“Saat awal-awal mengungsi, mayoritas adalah non muslim. Tetapi sejak 2017 lalu ada yang menjadi mualaf sebanyak 11 orang. Kemudian menyusul 7 orang lainnya di 2018, termasuk saya yang mensyahadatkan mereka,” kata Teungku Hambali, alumni Timur Tengah yang kini bertugas di Kemenag Aceh Tengah.
Amalan yang duduk di samping Teungku Hambali turut mengiyakan.
Tugas Amalan adalah membimbing anak-anak mualaf dari para petani miskin di Dusun Wih Ilang ini untuk mendapat pendidikan agama yang baik.
“Saya tak ingin mereka terlantar hanya karena tinggal di pelosok. Tugas saya adalah untuk memastikan anak-anak ini, kaum mualaf dari ibu-ibu untuk mendapat pendidikan yang layak,” ujar Amalan lagi.
Amalan sendiri merupakan honorer dengan gaji pas-pasan. Beruntung kabar tentang Dusun Wih Ilang sampai ke jajaran Kemenag Aceh pada 2017 lalu. Jajaran itupun kemudian turut ke lokasi untuk melihat kondisi di sana.
“Selain saya, di sana ada juga ibu Sulastri yang mengajar di MIS Wih Ilang. Kondisi MIS masih jauh dari kata layak. Jadi kondisinya komplit,” ujar pria muda itu.
Jalan yang terjal dan jauh. Sarana pendidikan serta pendidikan yang minim, ekonomi masyarakat yang rata-rata di bawah kemiskinan serta tanggungjawab besar terhadap keluarga mualaf menjadi tanggungjawab dari Amalan Shalihan serta beberapa guru yang mengabdi di Wih Ilang.
Belum lagi kondisi fasilitas kesehatan yang masih minim di Wih Ilang.
“Saya harus bertahan demi keluarga mualaf di sana. Doakan saya sehat dan dapat terus mengabdi,” ujar pria yang berstatus ayah dari satu anak ini.
Di Wih Ilang sendiri, kata Amalan, tak semua beragama Islam.
“Ada 14 kepala keluarga yang masih berstatus non muslim di sana. Makanya yang sudah mualaf, benar-benar saya jaga agar tak kembali ke agama semula,” ujarnya.
Berkat perjuangan Amalan dan beberapa guru di MIS Wih Ilang, sebanyak 5 anak kini mendapat beasiswa dari Kemenag Aceh untuk dapat melanjutkan pendidikan ke salah satu sekolah modern hafalan Alquran di Banda Aceh.
“3 dari 5 anak itu, adalah mualaf. Ini yang membuat saya sangat senang. Mereka memperoleh beasiswa hingga selesai Aliyah. Mudah-mudahan suatu saat bisa pulang ke Wih Ilang dan membumikan Alquran,” katanya lagi. []