IBNU melempar lumpur ke barisan tentara. Bocah itu melakukan hal tadi berulang kali. Sejumlah tentara menjerit kesakitan. Lumpur mengenai wajah mereka dan masuk ke mata.
Kuncian kaki Budi jadi longgar. Beberapa tentara menjauh karena tak dapat melihat. Dua orang di antara mereka tersungkur jatuh. Senjata mereka terlempar ke pangkuan Budi.
Budi bermaksud mengembalikan senjata tadi kepada pemiliknya. Namun saat dia hendak bangun, rentetan peluru justru terdengar.
“Tum, tum, tum,…tum.”
Wajah Budi pucat. Sejumlah peluru bersarang di tubuhnya. Bajunya memerah. Percikan darah membasahi wajah Ibnu.
Ia roboh seketika ke lumpuh. Ia yakin ini akhir dari perjalanan hidupnya selama ini. Namun Budi berharap masih bisa memeluk Ibnu untuk terakhir kalinya. Menenangkan bocah itu sebelum ajalnya tiba.
Namun matanya terlalu berat untuk dibuka. Tubuhnya dingin. Saratnya tak lagi berfungsi. Dunianya gelap dan tertutup untuk selamanya.
Ibnu memandang abangnya itu dengan dari arah dekat. Tangisnya tiba-tiba reda. Ia tak bersuara dan terus memeluk jasad abangnya itu dengan air mata yang terus bercucuran dari wajahnya.
Pria berloreng yang meminta pasukan untuk tak mengganggu tadi, mendekat. Wajahnya penuh kesedihan. Ia tiba-tiba memukul para anggota pasukannya yang menembak tadi.
Ia benar-benar marah dengan sikap pasukannya yang menembak remaja tak bersalah di depan mereka. Lelaki itu mengambil dua pucuk senjata dari anggota pasukan yang menembak. Senjata itu diserahkan ke anggota pasukan lainnya. Ia kemudian menendang anggota yang bersalah tadi berkali-kali hingga berlumur darah.
“Kurang ajar kalian. Kau bunuh anak-anak tak berdosa,” teriaknya keras.
Dua pria yang menembak tadi tertunduk. Mereka tak berani menatap wajah komandannya itu.
“Maaf Dan. Saya pikir dia tadi hendak menembak kami. Mataku kemasukan lumpur, jadi tak bisa melihat dengan jelas,” ujar salah seorang di antara mereka.
“Siap salah dan dihukum, dan,” katanya lagi.
Perkataan tersebut justru membuat sang komandan lebih berang. Dia kembali menedang keduanya hingga melayang dan jatuh tersungkur tanah.
“Apa kalian bisa mengembalikan nyawa anak ini? Apa kalian tahu akibat dari perbuatan ini?” ujarnya.
“Kita bertugas menjaga keamanan. Namun kalian baru saja menambah bumbu konflik di Aceh. Kalian justru mempertebal kebencian warga terhadap kita,” ujarnya kemudian. Namun sikapnya kali ini lebih melunak.
Suasana hening. Komandan itu melihat ke arah Ibnu yang memeluk jasad abangnya itu tanpa suara. Wajahnya penuh darah.
Ia ingin mendekat. Namun sang komandan khawatir jika tindakannya itu justru menambah runyam masalah.
“Kita kembali ke mobil dan pulang. Tinggalkan tempat ini sebelum masyarakat datang,” ujarnya sambil bergegas pergi. Ia melangkah dengan cepat. Sejumlah pasukan mengekor dari arah belakang.
Di ujung jalan, ia berhenti di depan rumah warga semi permanen. Ia mengetuk pintu berkali-kali. Tak lama, seorang wanita membuka pintu. Wajahnya terlihat sangat ketakutan. Apalagi ia baru mendengar suara letusan senjata api.
“Ada mayat remaja di sawah dekat sana. Mohon diambil dan disalatkan,” kata sang komandan.
Ia tak memerlukan jawaban. Sosok itu meneruskan langkah menelusuri jalan rel kereta api dan kemudian belok kanan usai tiba di persimpangan. Tujuan mereka adalah Jalan Medan-Banda Aceh.
[Bersambung]