USAI para pria berbaju loreng itu berlalu, Teungku Fiah mengucapkan terimakasih berulang kali kepada keluarga yang sudah membantunya itu. Ia bersyukur mendatangi rumah yang tepat.
Wanita itu bertindak cepat saat saat genting tadi. Jika seandainya wanita tua tadi tak membantunya, nyawa Teungku Fiah tentu sudah melayang. Apalagi kini ia tak memiliki senjata untuk memberi perlawanan.
Teungku Fiah kemudian salat dan menyantap sedikit nasi yang telah disediakan yang punya rumah. Sedangkan nasi kaleng yang diserahkan TNI tadi diletakan di dapur.
Makanan itu dilahabnya dengan cepat. Ia memang benar-benar lapar.
Sementara pemuda seumuran anaknya itu bernama Firmansyah. Ia alumni salah satu universitas di Banda Aceh. Ibunya bernama Rohana.
Firman, demikian pria itu disapa, pulang kampung untuk menjaga ibunya yang kini tinggal seorang diri.
Malam ini, ia memutuskan untuk menginap. Ia khawatir jika tentara tadi masih bertahan di perkampungan itu untuk memantau geraknya. Jika ia kembali keluar, tentu akan membuat para tentara curiga.
“Ibu saya sudah tua teungku. Saat ini daerah kita juga sedang konflik. Saya tak mungkin meninggalkannya seorang diri dan merantau. Saya ingin merawat ibu,” ujar Firman menjelang tidur kepada Teungku Fiah.
Firman anak yang berbakti. Ini terlihat dari caranya memperlakukan ia dan ibunya yang sudah tua.
“Ayah saya sudah lama meninggal,” kata pemuda itu lagi.
Firman mengaku prihatin dengan keadaan yang menimpa warga di pedalaman Aceh.
“Di kampung ini, para pemuda yang bertahan tinggal sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Sebahagian besar merantau ke Malaysia. Sebahagian lagi memutuskan bergabung dengan tentara nanggroe,” ujar Firman.
“Kalau salah salah bertindak ketika masuk tentara, bisa kena tedang atau dipukul. Serba salah teungku,” katanya lagi.
Teungku Fiah sendiri, paham betul dengan apa yang dialami oleh Firman. Kedua anaknya sendiri menjadi korban. Ia kehilangan banyak waktu bersama keluarga. Anaknya besar tanpa didampingi oleh dirinya.
Ia menyesal tak mau bertemu Raman, anaknya tertua, saat sosok itu meminta izin untuk bersua dengannya. Sehari kemudian, sosok itu diambil oleh tentara dari rumah, dan kini tidak diketahui nasibnya. Entah ia masih hidup atau sudah meninggal. Hati Teungku Fiah perih saat mengenal kejadian itu.
Ia juga menyesal tak pulang mendampingi istri dan dua anaknya usai tragedy menimpa Raman.
Tragis, kini nasib naas kembali menimpa anaknya yang kedua, Budi. Remaja itu juga harus meregang nyawa di ujung senjara tentara republic. Bayangan sosok Budi kini melekat di kepalanya.
Sosok itu harusnya tumbuh besar dan mendapat pendidikan tinggi. Namun impian tersebut kini sirna.
Belum lagi trauma yang diyakini mendera istri dan anaknya yang terkecil. Keduanya pasti sangat mendambakan kehadirannya. Ia harus segera pulang meski harus melalui hujan peluru.
“Ayah akan segera pulang nak. Ayah akan pulang meski dihadang peluru,” gumam Teungku Fiah dalam hati.
Teungku Fiah tak menghitung berapa lama ia sudah menempuh hidup sebagai seorang gerilyawan Aceh. Bertahun-tahun ia pindah-pindah tempat serta melalui hari demi hari di dalam hutan. Ia tak pernah menderita rindu seperti sekarang.
Teungku Fiah tiba-tiba menarik nafas panjang. Seolah ada beban yang coba dilepaskannya saat itu.
Keadaan ini disadari oleh Firman. Pemuda itu tahu bahwa orangtua yang tidur di sampingnya itu sedang memikirkan sesuatu.
“Aku akan antar teungku hingga ke tujuan besok pagi. Teungku tidurlah yang nyaman malam ini,” ujarnya kemudian.
[Bersambung]