Februari 2007 lalu, di awal-awal magang menjadi jurnalis di salah satu media cetak harian, yang kini telah tutup, seorang senior saya pernah berkata.
“Kita wartawan (jurnalis-red) itu beda. Jikapun kiamat terjadi, kita harus meliput dulu dan menulis berita.”
Kalimat itu masih membekas hingga kini meskipun telah bekerja di beberapa media cetak hingga online. Mengapa beda? Karena cara kerja profesi ini memang menyimpang dari kebanyakan warga ‘normal’ lainnya. Tentunya, menyimpang dalam tanda kutip. Jurnalis menjadi profesi ‘abnormal.’
Saat bencana terjadi, misalnya. Banyak orang lari dari lokasi. Namun para wartawan justru datang untuk meliput.
Jurnalis juga tak mengenal hari libur serta waktu. Menyiapkan informasi kepada masyarakat secara detail dan berimbang. Meskipun tak semua informasi tadi disenangi oleh masyarakat itu. Teror dan intimidasi adalah hal normal yang sering dirasakan sehari-hari.
Karena kebiasaan ini pula, banyak pihak yang menganggap jurnalis itu sebagai alat, robot atau bahkan alien yang berbeda dengan khalayak ramai sekalipun.
Soal wabah yang sedang menyerang sejumlah negara di dunia misalnya. Ada beberapa prilaku aneh pejabat di Aceh yang menegaskan prilaku abnormal tadi benar adanya. Mungkin di tempat lain juga sama.
Sejak awal Maret, pemerintah Aceh meminta warga untuk mengisolasi diri di rumah masing-masing. Para ASN dan pegawai kontrak juga mulai bekerja dari rumah. Tujuannya untuk memutuskan siklus penyebaran virus Corona di Aceh.
Sejumlah aturan penanganan virus Corona pun disiapkan, seperti warga diminta menghindari lokasi kerumunan massal, sekolah diliburkan, menjaga jarak satu meter, mencuci tangan setiap habis aktifitas serta menutup lokasi-lokasi keramaian, seperti Warkop, café serta wahana permainan dan lokasi wisata.
Namun dalam beberapa kali temu pers yang diadakan pemerintah Aceh, dinas, serta DPR Aceh, aturan tersebut tak disiapkan untuk para jurnalis. Wartawan dikumpulkan dalam ruangan sempit dan berdesakan. Tak ada jarak satu meter.
Demikian juga saat sidak para pejabat di rumah-rumah sakit yang menangani Pasien Dalam Pengawasan (PDP) Corona. Wartawan diundang untuk meliputi dalam keadaan berdesakan dan tanpa disediakan alat pengamanan diri.
Pejabat kita cuma sering melihat hasil dan berita usai sidak. Tanpa memahami nasib pemegang kamera dan penulis berita itu sendiri.
Mungkin karena abnormal tadi, jurnalis dianggap alien serta berdarah biru. Tak mudah sakit atau terjangkit virus Corona. Tak memiliki anak dan keluarga yang juga bisa terjangkit virus mematikan ini.
Bukan meminta untuk diberikan perlakuan khusus, tapi sikap dan prilaku ini semestinya diubah karena virus yang mewabah saat ini tak mengenal jabatan dan profesi. Benar bahwa jurnalis membutuhkan informasi, tapi keselamatan jurnalis juga perlu diperhatikan. Semua ini harus dimulai hal-hal kecil seperti tadi. []