Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
Hari itu, sang dokter menghadap Ilahi. Soetomo wafat pada 30 Mei 1938, pada umur 50 tahun. Sebelum jenazahnya dikebumikan, orang-orang yang mencintainya memberikan penghormatan terakhir. Seorang pemuda peranakan Belanda termasuk yang turut antre ditengah warga. Saat mendekat dengan keranda, pemuda itu mengejutkan banyak pelayat. Ia menangis sejadi-jadinya. Mengapa anak Indo ini begitu kehilangan? Apa gerangan hubungan ia dengan almarhum? Apakah ada kaitan dengan Everdian Broering, istri almarhum yang empat tahun sebelumnya wafat lebih dulu? Bukankah dengan perempuan Belanda itu Soetomo diketahui tidak memiliki keturunan? Syak pun terbit di antara pelayat yang keheranan; adakah si oemuda Indo itu anak “tidak resmi” almarhum?
Keluarga Dokter Soetomo paham situasi tersebut. Angkat bicaralah Dokter Soemarno, adik almarhum. Sebuah pembicaraan pun di buka, yang awalnya hanya menjadi rahasia semasa almarhum hidup. Bahkan sebetulnya masih ingin ditutup rapat rahasia itu. Demi menjaga nama baik almarhum karena pemuda itu mengundang sangkaan tidak-tidak, keluarga almarhum terpaksa menyampaikannya ke umum.
“Anak Indo itu adalah seorang pemuda yang ingin melanjutkan pelajarannya di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) tempat Dr. Soetomo mengajar. Sayang ayah bundanya orang miskin, sehingga rasa-rasanya tidaklah ada kesanggupan lagi baginya meneruskan pelajarannya.”
“Pada suatu hari datanglah ia mengadukan halnya kepada Dr. Soetomo, bahwa dia ingin hendak terus belajar, tapi sayang perbelanjaan tidak cukup. Dengan timbang rasa yang amat dalam, keadaan pemuda itu sangat mempengaruhi almarhum, sehingga akhirnya beliau menetapkan bahwa sampai tamat sekolahnya, beliaulah yang akan menanggung belanja sekolahnya. Dengan satu syarat, yaitu hal itu mesti tetap dirahasiakan, tidak seorang jua pun yang boleh diberi tahu.”
“Demikianlah, anak itu telah belajar dari tahun ke tahun dengan perongkosan Dr. Soetomo sendiri, dengan tidak diketahui oleh umum. Tatkala Dr. Soetomo merasa bahwa ajalnya telah dekat, barulah dibukanya rahasia itu, dibisikkannya kepada adik-adiknya, supaya dapatlah tanggungan atas perbelanjaan anak itu diteruskan oleh yang tinggal.”
Begitulah sepenggal kisah kebesaran jiwa yang telah dicontoh tauladankan untuk kita semua oleh seorang Dr. Soetomo yang dituliskan Yusuf Maulana dalam Buya Hamka; Ulama Umat Teladan Rakyat, Pro-U Media, 2018.
Dokter Soetomo yang bernama asli Subroto ini lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Ketika belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya, mendirikan Budi Utomo (BU) pada tanggal 20 Mei 1908 yang kemudian melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA, berlangsung 24-26 Des 1935. Soetomo diangkat menjadi ketua.
Menariknya adalah tokoh pendiri Budi Utomo itu memiliki alur pemikiran yang berseberangan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti Haji Agus Salim. Ada persinggungan malah pergesekan pemikiran antar keduanya. Seakan perbedaan keduanya mewakili ceruk pemikiran sekuler dan pemikiran Islam. Dalam banyak kesempatan keduanya berbeda tajam bahkan saling berbalas kritikan. Soetomo pernah berkata untuk Haji Agus Salim bahwa “Partai Sarekat Islam telah menjadi perkakas seorang intelek tinggi.” Di lain kesempatan ia menuduh kepindahan Haji Agus Salim dari Jakarta ke Surabaya adalah dengan maksud merusak Indonesische Studieclub (salah satu tempat aktivitas pergerakan Budi Utomo) di Surabaya. Dan bahkan setelahnya pada tahun 1931 Dr. Soetomo menyindir tajam kepergian Haji Agus Salim ke tanah suci, ” Terbuang di Digul karena suatu pendirian lebih utama daripada naik haji ke Mekkah karena hanya ikut-ikutan.” Seakan-akan kepergian Haji Agus Salim ke tanah suci abai terhadap perjuangan di tanah air dan bertujuan menghambur-hamburkan uang dan pengasingan di Digul adalah sebenarnya perjuangan bela tanah air.
Itulah sosok kontroversial yang dilakonkan oleh seorang Dokter Soetomo dan Haji Agus Salim, sama-sama memiliki cita-cita luhur memerdekakan tanah air namun dengan jalan yang tidak sama. Seakan satu berada di kutub pemikiran sekuler dan yang satunya posisinya di kutub Islam walau demikian masih saudara se-iman. Entah apa penyebab terjadinya perbedaan pandangan dari keduanya. Padahal “Dokter Soetomo lah yang mempelopori berdirinya Rumah Sakit Muhammadiyah pertama di Yogyakarta pada tahun 1923 (kini dikenal dengan RSU PKU).” Tulis Abdul Munir Mulkhan dalam Moral Politik Santri : Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas. Dan ditambah lagi, Budi Utomo dalam sidang kongresnya Badan Pengurus mengajukan : “Budi Utomo bertujuan menyokong Islam tanpa mengganggu kebebasan beragama, membuat peraturan tentang anggaran Masjid untuk membayar penghulu (pejabat pimpinan Masjid) dan pengurus Masjid lainnya, mengurus lebih baik pesantren-pesantren (pusat-pusat pendidikan Agama untuk mempelajari Islam tingkat lanjutan), dan mendirikan lembaga-lembaga yang memberikan pendidikan tingkat menengah dalam tradisi Islam dan pelajaran lain sehubungan dengannya. Dengan demikian, jelaslah usul untuk memasuki dunia pendidikan pesantren, dan pendidikan Islam tingkat lanjutan, menunjukkan tujuan pengurus yang hendak meningkatkan persaingannya terhadap sarekat Islam.” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia : Boedi Oetomo 1908-1918. Walaupun usulan ini ditolak oleh pengurus demi menjaga kebebasan beragama.
Terkadang kita acapkali menarik garis merah menilai seseorang atau suatu kelompok berdasar amatan penglihatan hanya dengan ujung mata. Ada orang atau kelompok yang mula-mula kita melihat atau terdengar disebut namanya saja, langsung bangkit birahi kebencian di hati kita. Mungkin terlalu banyak porsi keburukan tentang seorang atau kelompok itu yang kita dengar dari musuh atau mereka yang tak senang dengannya. Atau bisa jadi terlalu kaku dan baku dalam mengambil istimbat hukum yang hanya dari satu atau dua rujukan saja. Padahal kedalaman benci di hati terhadap seseorang atau suatu kelompok bisa saja dangkal bahkan tertutup rata jika kita sedikit memaksakan diri bertemu bertatap muka langsung agar tukar pikiran mengalir merubah benci melahirkan penghargaan memupuskan kebencian. Karena yakinlah, bahwa disebalik yang tampak dari seseorang atau suatu kelompok yang dibenci, ada hakikat kebaikan yang telah luput dari pengamatan mata hati kita.
“Jika kelihatan sesuatu yang janggal, bukanlah karena salah Agama, melainkan karena kehalusan perasaan beragama tidak dipupuk oleh kecerdasan pikiran. Hanya membaca matan-matan kitab yang beku, tidak dituntun oleh ilmu pengetahuan Agama yang sejati yang bernama Ruhul Syari’ah.” Begitulah penyampaian Buya Hamka dalam bukunya Pandangan Hidup Muslim, Cet.I Gema insani Pers, Jakarta; 2006.
Ingatlah, memetik memunguti hikmah tak mesti selalu dari seseorang atau suatu kelompok yang searah dan selatar pemikiran dengan kita dari segi apapun. Yakinkan lah diri kita, bahwa setiap orang dan setiap kelompok ada menyimpan sisi kebaikan dan keluhuran nilai yang dimilikinya. Islam hadir bukan mengajarkan umatnya pandai menghukum seseorang atau suatu kelompok tanpa cerdas mengamati hakikat sekelilingnya agar misi Islam berupa Rahmatan Lil Alamin bersemi di muka bumi. Hanya dengan kehalusan rasa beragama yang mampu memadukannya dengan Nash yang suci sehingga menampilkan sosok berbudi wujud dari Rahmatan Lil Alamin. Sosok berbudi yang mampu melihat hakikat disebalik tampilan.
*Penulis adalah Penghulu Muda KUA Kec. Susoh Aceh Barat Daya dan Anggota IKAT Aceh dan penulis buku Lingkaran Pekat Muslihat.