RISKA memberi isyarat ke Ahmadi sambil menunjuk ke arah ayahnya. Ahmadi yang awalnya garuk-garuk kepala akhirnya tahu apa yang terjadi. Ia mendekati Ibnu dan mengajak sosok itu ke toilet dengan alasan minta ditemani.
Untungnya, Ibnu dengan cepat mengangguk tanda setuju. Keduanya kemudian melangkah ke arah belakang. Ahmadi mencoba memisahkan Ibnu agar tak ketemu dengan ayah Riska yang sedang berpakaian loreng.
Ahmadi yakin jika Ibmu shock jika mengetahui ayah Riska, komandan Dedi, adalah seorang tentara.
Di toilet, ternyata ada beberapa pengunjung yang sedang antri untuk tujuan yang sama. Ahmadi justru senang akan keadaan tersebut sehingga mereka memiliki waktu yang relative lama untuk menghindari.
“Nu, kita ke masjid aja yok. Aku tak tahan lagi nie,” ujar Ahmadi beralasan agar mereka bisa keluar dari Café Mbak Moel. Ibnu lagi-lagi mengangguk tanpa membantak. Ibnu memang tipe orang yang setia kawan dan baik hati.
Keduanya kemudian mengarah ke parkir. Ahmadi mengemudi mobil serta mengarah ke masjid Lamgugop yang berada tak jauh dari lokasi.
“Aku tak nyaman berada di antara cewek-cewek tadi, Wak. Cuma karena permintaan Raina dan Riska aja aku tak bisa menolak,” ujar Ibnu tiba-tiba dalam mobil. Sosok itu ternyata merasa tak nyaman di kelilingi para gadis meskipun mereka adalah para adik angkatannya di kampus.
Ahmadi tersenyum. Ia berarti tak perlu bercapek-capek acting untuk memisahkan Ibnu agar tak bertemu dengan ayahnya Riska.
“Kalau begitu, kita berlama-lama di masjid aja hingga cewek-cewek itu pulang. Alasannya aku sakit perut,” ujar Ahmadi.
Keduanya kemudian tersenyum.
Ahmadi menggunakan ketidaknyamanan Ibnu sebagai alasan tidak kembali ke Mbak Moel agar terhindari pertemuan yang diyakini berefek panjang. Di masjid, Ahmadi mencoba ke toilet dan kemudian kembali ke mobil beberapa menit kemudian.
Sementara Ibnu justru terlihat di dalam masjid untuk salat. Ia lama di sana. Sosok itu baru kembali ke mobil sekitar 30 menit kemudian.
“Kita cari Warkop saja yok, Nu. Mereka pasti lama di café tadi. Kita cari makan dulu, aku traktir,” kata Ahmadi.
Ibnu kembali mengangguk tanda setuju.
Mobil itu kemudian melaju ke arah Kota Banda Aceh serta memutar ke Pinggir Kali. Konon kawasan tersebut, dulunya merupakan daerah ‘hitam’ serta sering ditemukannya minuman keras di tahun 2006 dan 2007. Namun kini prilaku menyimpang dari syariat Islam itu sudah memudar di sana.
“Kita ngopi di sini saja. Namanya Cek Yuke. Aku sering ke sini untuk menenangkan diri,” kata Ahmadi.
Ibnu melihat Warkop itu sekeliling. Ada beberapa penjual makanan dengan rak kecil di sana serta ada juga rak kosong.
“Aku ingin jualan burger di sini bisa tidak ya. Sambil nabung untuk S2 nanti,” ujar Ibnu kemudian.
Ahmadi mengangguk tanda setuju. Ahmadi tahu benar dengan sikap Ibnu. Sosok itu sudah mandiri sejak dikenalnya. Ibnu juga berambisi keluar negeri untuk mewujudkan cita-citannya.
“Aku kenal dengan pemilik warung ini. Nanti aku sampaikan. Sekarang kita ngopi dan makan dulu yuk,” ujar Ahmadi.
Suasana di Pinggir Kali terlihat asri. Hanya air sungai yang sedikit kotor dan keruh akibat hujan di hulu. Sejumlah pengunjung terlihat asyik dengan obrolan masing-masing. Para pelayanan di sana juga terbilang ramah dan baik.
Ibnu terlihat nyaman dengan suasana. Sedangkan Ahmadi mencoba mengirim pesan singkat ke Riska.
“Kami di kota. Kalau ayahmu sudah pulang. Mohon dikabari.”
[Bersambung]