ROMA – Maddalena Ferrari akhirnya bisa melepaskan masker yang ia kenakan seharian. Di rumah, ia menangis sendirian di kamarnya. Ferrari harus tetap mengenakan masker di rumah demi melindungi orang tuanya dari virus corona.
Ketika berada di kamarnya sendiri dan tidak ada yang melihat, koordinator perawat rumah sakit Pope John XXIII itu melepas masker yang melindungi dan menyembunyikan wajahnya. Ia menangisi semua pasien virus corona yang meninggal di tempat kerjanya di Bergamo, Italia.
“Kami kehilangan seluruh generasi, masih banyak yang bisa mereka ajarkan pada kami,” kata Ferrari di akhir jam kerjanya, Rabu (8/4).
Tekanan pekerjaan para petugas medis di Italia dan Spanyol mungkin sedikit mereda. Tapi tekanan emosional dan psikologis pandemi virus corona pada dokter dan perawat di dua negara itu mulai membuncah.
Sudah dua orang perawat Italia bunuh diri, para psikolog segera memobilisasi terapi dan menyediakan layanan konsultasi gratis melalui internet untuk petugas medis. Beberapa orang di rumah sakit menggelar sesi terapi kelompok untuk para staf yang mengalami trauma setelah melihat begitu banyak pasien meninggal sendirian.
Para peneliti mengatakan setelah tujuh pekan wabah virus corona melanda Italia. Adrenalin yang sebelumnya mendorong petugas medis terus bekerja kini digantikan oleh kelelahan dan rasa takut terinfeksi.
Banyak dokter dan perawat yang kehilangan dukungan keluarga yang biasanya mereka dapatkan di masa normal. Karena para petugas medis harus mengisolasi diri setelah bekerja seharian di lingkungan penuh virus corona.
Kini tidak hanya petugas medis Italia dan Spanyol yang kewalahan karena pandemi virus corona. Para terapis dan psikolog di dua negara itu juga harus berjibaku dengan tekanan emosional dan psikologis yang dialami dokter dan perawat.
“Faktor adrenalin dapat bekerja maksimal satu bulan, kami memasuki bulan kedua, jadi fisik dan mental orang-orang ini sudah lelah,” kata direktur akademi perawatan kesehatan wilayah Lombardy, Italia, Dr. Alessandro Colombo.
Colombo meneliti tekanan psikologis yang dialami petugas medis. Berdasarkan penelitian awalnya, menyaksikan pasien meninggal sendiri sangat berdampak pada dokter dan perawat.
Mereka diminta untuk berada di samping pasien menjelang kematian mereka. Menggantikan posisi keluarga bahkan pemuka agama. Colombo mengatakan perasaan merasa gagal begitu besar di kalangan petugas medis.
“Setiap waktu gagal, Anda melakukan segalanya untuk pasien dan pada akhirnya, jika Anda orang yang beriman, ada sesuatu yang lebih besar dari Anda memutuskan takdir lain untuk orang itu,” kata Ferrari, koordinator perawat di rumah sakit di Bergamo.
Rekannya, Maria Berardelli mengatakan petugas medis tidak terbiasa melihat pasien meninggal dunia setelah dua pekan memakai ventilator. Menurutnya tekanan emosi begitu menghancurkan.
“Virus ini, kuat, kuat, kuat, Anda tidak akan bisa terbiasa dengannya, karena setiap pasien memiliki kisahnya sendiri,” kata Berardelli dalam wawancara via Skype bersama Ferrari.
Asosiasi perawat dan psikolog Italia sudah meminta pemerintah melakukan koordinasi skala nasional untuk merespons kebutuhan kesehatan mental petugas medis. Mereka memperingatakan gelombang stress akan semakin tumbuh.
Situasi ini juga terjadi di Spanyol. Dokter unit gawat darurat rumah sakit Severo Ochoa di pinggir kota Madrid, Dr. Luis Díaz Izquierdo mengatakan perasaan tak berdaya timbul setelah menyaksikan kondisi pasien memburuk dalam hitungan jam.
“Tidak peduli apa yang Anda lakukan, mereka pergi, mereka meninggal dunia, dan orang itu tahu mereka sekarat, karena semakin sulit untuk bernapas, dan mereka melihat mata Anda saat kondisi mereka semakin memburuk, sampai akhirnya mereka menyerah,” kata Izquierdo.
Perawat di Rumah Sakit de la Princesa, Diego Alonso mengatakan seperti rekan-rekannya ia menggunakan obat penenang tranquilizers mengatasi tekanan emosional. Bagi Alonso yang paling parah adalah rasa takut, pasalnya istrinya akan segera melahirkan.
“Tekanan psikologis dari periode ini sangat sulit dilupakan, ini begitu berlebihan,” katanya.
Direktur medis Rumah Sakit Klinis San Carlos di Madrid, Dr. Julio Mayol mengatakan stafnya menderita ‘sejumlah luka’. Baik luka jangka pendek maupun panjang.
Mayol mengatakan selain karena begitu banyak pasien yang meninggal dan takut tertular. Stafnya juga trauma dengan bisingnya berita seputar pandemi yang terus melaporkan jumlah kematian dan menyebut respon negara lain lebih baik daripada Spanyol.
“Rasa takut, iri dan fantasi terus dikomunikasikan, berulang kali 24 jam per hari di media, menjadi obsesi petugas kesehatan yang tidak bisa dilupakan,” kata Dr. Mayol.
Ia menambahkan sejak awal rumah sakitnya memiliki psikolog yang bekerja untuk pasien dan staf rumah sakit. Mayol menegaskan layanan tersebut akan terus dilanjutkan, dilansir dari AP.