Oleh : H. Roni Haldi, Lc*
Suatu ketika, Khalifah merasa kesepian dalam hidupnya. Meski di sekitarnya berkumpul orang-orang yang menjadi para pembantunya, namun ia tetap saja merasa sendiri. Sendiri dalam keramaian, begitu kira-kira. Sudah lama rasanya ia tidak mendengar nasihat ulama yang bermutu. Bukan ulama yang hanya pandai menjilat saja, namun benar-benar ulama yang berani mengatakan kebenaran di depan penguasa. Melalui pembantunya, maka diundanglah Ibnu Samak, seorang ulama yang dianggapnya masih konsisten memegang kebenaran, ke istananya di Baghdad. Ibnu Samak pun bersedia memenuhi undangan tersebut. Ia mau datang menemui Khalifah di istananya yang megah beserta segala pernak-pernik perhiasannya yang serba mewah.
Singkat cerita, Ibnu Samak datang ke istana. Di dalam istana, Ibnu Samak duduk di dekat Khalifah. Karena udara dirasa sangat panas, juga untuk menghormati tamu tentunya, Khalifah lalu meminta seorang pelayan membawakan air minum untuknya. Tak berapa lama si pelayan pun kembali dengan membawa sepiala air minum. Lalu diletakkannya di atas dipan, tak jauh dari singgasana Khalifah. Ketika penguasa kelima Kekhalifahan Abbasiyah itu hendak melepas dahaganya, Ibnu Samak tiba-tiba menyela dan bertanya.
“Beribu ampun, Khalifah. Andai air seteguk itu sangat sulit dicari, padahal Baginda sudah sedemikian haus, untuk memperolehnya pun dengan sangat susah payah. Berapakah Baginda akan hargai air seteguk itu?” tanyanya.
Harun Al Rasyid tentu saja kaget mendengarnya. Ia lalu meletakkan kembali piala yang telah diangkatnya itu.
“Andai air seteguk itu sangat sulit dicari, untuk memperolehnya pun harus dengan sangat susah payah, maka saya bersedia menjual separuh hartaku untuk mendapatkannya,” jawab Khalifah mantap.
“Okelah kalau begitu, Baginda. Silakan minum air yang seteguk itu, yang harganya mencapai setengah dari kekayaan Baginda,” lanjut Ibnu Samak mempersilakan.
Tanpa berpikir panjang, Khalifah pun minum seteguk air. Setelah itu, Ibnu Samak dipersilakan meneruskan kembali nasihatnya. Masih dengan pertanyaan.
“Andai seteguk air yang diminum tadi enggan dikeluarkan, sementara Baginda sudah sangat bersusah payah untuk mengeluarkannya, namun tetap saja sulit. Kiranya, berapakah Baginda akan bayar untuk mengeluarkannya?” tanya Ibnu Samak lagi.
“Andai air itu tidak mau dikeluarkan, sementara saya sudah sangat bersusah payah melakukannya, maka apalah artinya semua kekayaanku ini. Akan kuhabiskan seluruhnya untuk berobat, yang penting bisa buang air,” tegas Khalifah.
Ibnu Samak lalu meneruskan nasihatnya. “Baik, Baginda. Ternyata seteguk air sama mahalnya dengan seluruh harta Harun Al Rasyid. Setengah untuk mendapatkannya, setengahnya lagi untuk mengeluarkannya. Maka tidakkah Baginda akan ingat, betapa besarnya kuasa Allah dan Mahakayanya Dia di hadapan kita, makhluknya yang lemah, tapi sok kuasa, sok kaya?” jelasnya tanpa beban.
Tak lama, Harun Al Rasyid pun menangis tersedu-sedu.
Cerita di atas menggambarkan betapa berharganya seteguk air yang dinikmati setiap hari daripada semua harta yang telah dimiliki. Rupanya semua harta dari hasil usaha yang telah dimiliki berubah jadi tak berfungsi lagi tak berarti dihadapan hanya seteguk air. Habis harta hanya demi air yang sangat dibutuhkan disaat pelepas dahaga diri. Seteguk air telah menumbuhkan kembali kesadaran sang Khalifah Harun Al Rasyid akan posisinya sebagai hamba biasa. Kesadaran berujung mengantarnya arti dari kesyukuran. Sepatutnya mensyukuri kemudahan yang diberikan Allah SWT.
“Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik.” Penggalan lirik lagu yang sempat dipopulerkan oleh Band D’Masiv ini masih lekat di telinga kita. Rasanya lirik lagu tersebut sangatlah tepat menjadi pengingat kita akan pentingnya bersyukur atas semua nikmat yang telah diberi Allah SWT kepada kita. Biasanya sesuatu yang berharga akan tampak kedudukannya disaat kita sangat membutuhkannya, walau di lain kesempatan kita melupakannya.
Itulah sifat manusia yang cepat lupa dan hanya mengingat dan menyebut-nyebut yang enak-enak saja. Sebenarnya, jika kita mau jujur pada diri kita sendiri. Wabah Corona atau Covid-19 ini secara langsung telah mengajak memaksa diri kita untuk menyadari kelemahan, ketidakberdayaan, kedhaifan, kebodohan, kelalaian, kesalahan, dan masih banyak lagi sifat buruk yang telah kita perbuat. Wabah Corona telah mencabut ketenangan dari hati manusia hingga kesusahan berkecamuk. Situasi sekarang ini telah merubah membalikkan keadaan dari biasanya, yang kaya banyak harta dan miskin tak punya apa-apa dijadikan sama kondisinya. Yang berpangkat berkedudukan dengan yang rakyat biasa lagi jelata jadi sama situasi hari-harinya. Sama terancam kesehatan dan bahkan nyawanya, sama standar protokol kesehatannya, sama menjaga jarak atau social distanding, semuanya mengalami persoalan pelik yang sama, yaitu berusaha melewati musibah ini. Ada satu sikap yang mesti dan harus segera kita lakukan agar musibah wabah yang telah berlaku cepat berlalu, yaitu Bersyukur.
Sekarang ini, syukur seakan sudah menjadi perkara tabu yang tertelungkup di bawah hasrat menggebu manusia untuk menumpuk harta, memanjat tahta, dan mengejar kedigdayaan dunia. Potret pilu ini dipicu minimnya penghayatan dan penerimaan atas segala nikmat yang telah Allah limpah ruahkan. Padahal, tanpa syukur, orang kaya belum tentu bahagia. Sebaliknya, dengan bersyukur, orang miskin belum tentu menderita. Karena Allah tidak menyertakan kekayaan batin dalam tumpukan kekayaan material yang kita raup raih. Begitu juga dengan kepapaan material.
Bersyukur jangan hanya sebatas disaat disapa nikmat, tapi juga dikala himpitan kesulitan dan musibah datang bertubi. Pahamilah, semua kenyataan yang kita hadapi baik baik maupun buruk, hakikatnya adalah sebagai bukti dari kehadiran Allah Ta’ala. Dan yakinkanlah diri kita, bahwa tak ada dari kenyataan yang telah diatur oleh Allah SWT untuk setiap hamba-Nya kecuali didalamnya menyimpan kebajikan dan kebahagiaan.
Bersyukur bukan kepada sedikit material yang telah dianugerahi kepada kita, karena seperti itu telah menggeser hati dan diri kita ke orientasi syukur kepada benda. Tapi ungkapan bersyukur tujuaannya hanya semata-mata kepada Allah; Yang Maha Memberi lagi Maha Mengetahui bukan kepada apa yang telah diberi dianugerahi. Ketika kita “buta realita” maka akan lalai dan sulit ingat kepada Allah Yang Maha Memiliki Segalanya dan membawa diri jatuh tersungkur ke jurang kufur.
Imam Ibnu Athaillah As Sakandary dalam Al Hikam pernah berpesan :
“Perhatikanlah wahai manusia, apa yang telah engkau perbuat dan apa yang telah Allah perbuat kepadamu sejak lahir sampai saat ini. Engkau akan menyadari bagaimana dia senantiasa memberikan kemudahan, kemurahan, kebaikan, maaf dan ampunan. Namun coba engkau renungkan, apa yang telah engkau perbuat kepada-Nya. Yang ada hanyalah ketidakpatuhan, pembangkangan, perlawanan, kemaksiatan, penyimpangan, kefasikan, kekufuran. Kalau ada yang mengasihimu karena Ketaatanmu padanya, itu hal biasa lagi lumrah. Tapi yang luar biasa adalah ada Dzat yang selalu mengasihimu padahal engkau menentang dan membangkang kepada-Nya.
Sekaranglah saat yang tepat untuk kita bangkit berbalik dari ketidakpatuhan menuju kesyukuran. Ucapakanlah “Astaghfirullah al ‘Adzhim” atas kelalaian dan kemaksiatan yang telah kita perbuat. Dan ucapakanlah “Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin” atas apa yang telah diberi dianugerahi kepada kita, agar musibah wabah Covid-19 ini menjadikan kita termasuk hamba-Nya yang bersyukur.
*Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Abdya dan Penulis Buku Semerbak Petuah Ayah.