Banda Aceh, pertengahan 2016
SUASANA di Warkop Pinggir Kali ramai di malam hari. Warung lebih padat dari biasanya. Ibnu sibuk melayani sejumlah pelanggan. Burgernya laku keras malam ini. Stok rotinya hampir habis.
Ada seorang pria tua terlihat mengamatinya dari kejauhan. Pria itu duduk di sudut kiri ruangan. Ada kopi pancong dan roti selei di depannya.
Postur tubuhnya terlihat kekar. Ia memakai peci putih serta baju kemeja berwarna merah garis biru.
Saat Ibnu terlihat lebih santai. Pria tua itu mendekati Ibnu.
“Anak muda. Aku ingin bicara serius denganmu. Dapatkah kita duduk berdua sebentar di sudut itu,” ujarnya tiba-tiba. Sorot mata pria tua itu tajam. Ia seolah ingin menerkam Ibnu.
Ibnu mengangguk. Ia kemudian mengikuti pria tua itu tanpa prasangka buruk. Selama ini, beberapa pelanggan memang sering mengajaknya ngopi untuk sekedar menghilangkan suntuk.
“Aku Dedi, seorang tentara dan keturunan Jawa,” ujar pria tua itu kemudian saat mereka berdua duduk semeja.
Pernyataan pria di depannya itu membuat Ibnu terkejut. Warkop Pinggir Kali memang sering jadi lokasi mangkar tentara tapi jarang ada yang mengajaknya untuk ngopi seperti malam ini.
Raut wajah Ibnu sedikit memucat. Ia mulai menduga-duga apa yang menyebabkan tentara tua itu mengajaknya duduk semeja.
“Tenang saja. Aku tak sedang menjalankan tugas karena profesiku malam ini. Aku juga tak memakai baju dinas agar traumamu tak kambuh. Malam ini aku hanya menjalankan tugas seorang ayah,” ujarnya kemudian.
Penjelasan pria tua itu membuat Ibnu mulai paham dengan apa yang terjadi. Namun keringatnya tetap saja turun membasahi wajah. Peluh peluh kecil keluar di sekitar lehernya.
“Aku ayah Riska. Anakku sudah menceritakan semua tentangmu. Dan terus terang, aku tak menyukaimu. Bukan karena kau anak mantan pemberontak. Tapi kau memang tak layak untuk anakku,” kata Dedi.
Pria tua itu begitu terus terang. Penjelasannya membuat Ibnu terasa sesak nafas. Ibnu seakan tak berkutik di depan lelaki itu.
“Aku dan kamu sama-sama korban konflik Aceh. Mertuaku, kakeknya Riska, juga tewas dalam konflik. Dan aku tak pernah menaruh dendam apapun kepada orang-orang di Aceh. Konflik di masa lalu, tak hanya menelan korban dari pihak sipil tapi juga tentara dan keluarganya, termasuk kakeknya Riska,” ujar Dedi lagi.
Dedi kemudian menghembus nafas panjang. Sulit baginya untuk kembali mengenang masa lalunya.
“Ibu Riska adalah wanita Aceh tulen. Ia begitu mencintai daerah ini dengan segenap jiwa raganya. Sayangnya, kami cuma diberi waktu yang sangat singkat untuk bersama. Ia meninggal saat melahirkan Riska,” cerita Dedi lagi.
“Tapi demi tuhan, aku mencintainya dengan segenap hatiku.”
“Ibunya Riska sama sepertimu. Tapi ia selalu menceritakan yang baik-baik mengenai Aceh. Ini yang kemudian membuatku penasaran dengan daerah ini dan memilih bertugas di Aceh. Daerah ini kemudian membuatku jatuh hati.”
Dedi terdiam. Demikian juga dengan Ibnu yang berada di depannya itu.
“Aku turut prihatin dengan apa yang menimpamu di masa lalu. Namun aku tak mungkin merestui hubungan kalian. Bukan karena profesiku, tapi karena seorang ayah. Jika kau menyukai seseorang, maka kau harus ikhlas menerima keluarganya menjadi keluargamu,” ujarnya lagi. []
[Bersambung]