Penjelasan pria tua itu membuat Ibnu terdiam lama. Ia mencoba mencari jawaban yang bijak agar tak menyakiti pria itu. Ini karena Ibnu sadar bahwa apa yang disampaikan oleh pria itu ada benarnya.
“Terus terang pak. Saya sudah menjalani komunikasi dengan Riska sejak lama. Namun kami berdua tidak memiliki komitmen apapun. Dan saya tidak akan menyentuhnya hingga saya melamar resmi dari bapak,” ujar Ibnu kemudian.
“Saya muslim dan keturunan Aceh. Saya paham agama dan menjaga adat istiadat dengan kental. Bagi saya, tidak ada istilah pacaran. Ini sudah berulangkali saya sampaikan pada Riska,” katanya.
“Saya tidak pernah membenci Riska atau bapak karena berdarah Jawa. Saya tahu bahwa konflik-lah yang membuat TNI dan GAM saling berhadapan di masa lalu. Kalau ada yang patut disalahkan, mungkin pemerintah di masa lalu yang senang dengan pertumpahan darah di Aceh,” ujarnya lagi.
Dedi menatap Ibnu dengan tajam. Ia seperti tak menyangka mendapat lawan debat yang seimbang malam ini.
“Keadaan rumit yang terjadi antara kita, hanya karena Riska tak pernah berterus terang sejak awal. Ini yang membuat saya sedikit terluka. Mungkin jika ia berterus terang, asa yang saya miliki bisa saya pupus sejak awal,” ujar Ibnu lagi.
Penjelasan Ibnu membuat raut wajah orang tua di depannya itu sedikit memerah. Mungkin ia tak terima ketika Ibnu menyalahkan anaknya yang tak terus terang.
“Terus terang saya tak pernah menyimpan dendam kepada tentara. Saya hanya trauma karena keluarga yang saya cintai menuai ajal di tangan pria berseragam loreng seperti bapak,” kata Ibnu.
Ia kemudian tertunduk lesu. Seolah ada amarah yang coba ia luapkan.
“Almarhum kakek saya juga korban konflik. Ayah saya kemudian menuntut balas dengan perlawanan bersenjata hingga akhir hayat. Ini jalan hidupnya. Dan saya tak pernah menyesal lahir dari ayah seorang pemberontak,” kata Ibnu.
Ibnu kemudian memadang lelaki tua di depannya dengan tatapan tajam.
“Tidak ada yang ingin menjadi pemberontak. Termasuk ayah saya. Kalau seandainya republic tidak melakukan pendekatan militer, mungkin ayah saya tidak pernah memegang senjata. Ia mungkin masih hidup dengan profesi guru dayah. Dan saya pun tidak harus menderita selama bertahun-tahun,” kata Ibnu.
“Yang saya tahu, wasiet terakhir dari ayah saya adalah untuk memutuskan siklus dendam panjang dari keluarga kami. Almarhum ayah, meminta saya untuk tidak lagi memegang senjata. Ia ingin saya untuk sekolah yang tinggi. Ini pula yang membuat saya bertahun-tahun berjuang seorang diri,” ujarnya lagi.
Ibnu kemudian menatap rak burger yang berada di belakangnya.
“Cuma rak itu yang saya punya saat ini. Satu lagi adalah sepeda motor butut di luar yang saya beli dari hasil kerja serabutan selama ini. Tapi saya memiliki cita-cita untuk kembali melanjutkan studi magister,” ujar Ibnu.
“Saya bukan tak bisa menerima bapak setelah dekat dengan Riska. Hanya saja, saya memerlukan waktu untuk mengatasi trauma saya yang mendalam. Kelak apapun yang terjadi, atau apapun yang bapak katakan sekarang, saya benar-benar akan datang ke rumah untuk melamar Riska, kecuali bapak menikahkan dia dengan lelaki lain,” katanya lagi sambil menatap pria di depannya itu.
Dedi terdiam. Baru kali ini ia berdebat dengan seorang pemuda yang memiliki nyali besar dan argument yang masuk akal.
“Bagaimana jika Riska saya jodohkan dengan tentara seperti saya?” ujar Dedi menantang Ibnu tiba-tiba.
Ibnu lagi-lagi terdiam. Namun raut wajahnya tetap seperti biasa. Ia tak mau terlihat lemah di depan ayah Riska.
“Itu artinya, bapak kurang beruntung tidak berhasil mendapatkan menantu seperti saya,” ujar Ibnu kemudian.
[Bersambung]