Bireuen, awal 2000
SAKDIAH tertunduk lesu. Ia masih mengenakan mukena yang dibeli almarhum suaminya beberapa tahun lalu. Seperti hari-hari biasanya, ia terbiasa bersimpuh usai salat malam. Saat warga lain terbuai dengan mimpi, ia bangun untuk bersujud pada sang pencipta. Mencurahkan isi hatinya kepada sang pencipta.
Setahun lebih Teungku Fiah meninggalkannya untuk selama-lamanya, ternyata kehidupan Sakdiah tak lebih baik. Ujian demi ujian kehidupan dilaluinya dengan sabar dan tawakal.
Namun ia yakin bahwa semua ujian hidup yang dilaluinya selama ini pasti akan mencapai titik akhir.
Tuhan tak akan selamanya memberikan ujian kepada dirinya. Ia yakin bahwa kesulitan hidupnya akan segera selesai. Ia hanya perlu bersabar dan bekerja lebih giat hari demi hari.
Minimal, ia harus tampil kuat di depan anaknya yang masih kecil. Ya, anaknya yang masih hidup dan satu-satunya peninggalan sang suami yang membuatnya bertahan selama ini.
“Tuhan. Ampunilah dosa-dosa hamba. Kuatkanlah hamba dalam menghadapi cobaan hidup ini. Berikan kebahagian kepada anak hamba di masa depan,” ujar Sakdiah sambil menengadah tangannya ke atas.
Sakdiah kemudian mengamati anaknya yang tertidur pulas di atas ranjang kecil milik mereka. Wajahnya kurus dan perutnya buncit.
Kepergian sang suami untuk selama-lamanya adalah hal terberat yang dirasakannya kini. Jika bukan karena Ibnu, anak terkecilnya itu, mungkin ia sudah menyerah dan memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidup.
Demi sang anak, ia rela menjadi buruh cuci di salah satu rumah makan di Kota Bireuen. Setiap pagi, ia membangunkan sang anak dan mengantarkannya ke sekolah dasar yang berada di tengah-tengah kota. Jarak ini mereka tempuh dengan berjalan kaki hampir satu jam lamanya.
Dari pekerjaan tersebutlah, Sakdiah mencoba bertahan hari demi hari. Dari pekerjaan ini juga, mereka memperoleh makan untuk hidup.
Sesekali, jika ia beruntung, ia dan anaknya bisa memperoleh daging atau menu spesial untuk dimakannya pada malam hari. Menu tersebut dihadiahkan sang pemilik resto karena kasihan pada dia dan anaknya.
Resto tempat Sakdiah bekerja adalah milik warga asal Padang, Sumatera Barat. Namun ia sudah menikah dengan perempuan Aceh dan tinggal di Bireuen hampir belasan tahun lamanya.
Anak terkecil dari pemilik resto tersebut, seumuran dengan Ibnu anaknya. Hal ini pula yang membuat Sakdiah nyaman bekerja di sana.
“Berikan aku kesehatan dan umur yang panjang, ya tuhanku. Aku tak ingin anakku melalui hari-hari seorang diri. Bukan demi diriku, tapi untuknya. Karena hanya diriku yang dimilikinya saat ini,” ujar Sakdiah lagi sambil menitihkan air mata.
“Berikan aku kekuatan untuk melihat anakku tumbuh besar. Hanya ini yang aku pinta padamu. Sehingga kelak ia tumbuh menjadi orang-orang yang berguna bagi bangsa dan anaknya,” kata Sakdiah lagi.
Sakdiah kemudian terdiam. Ia kemudian menundukan kepalanya ke sajadah lusung di depannya. Entah kenapa, tiba-tiba tangisnya pecah.
Ia sadar bahwa takdir adalah milik tuhan. Namun takdirnya terasa sangat berat. Kehilangan orang-orang tercintanya selama ini seolah mengambil separuh dari hidupnya. Namun di sisi lain, ia juga harus bertahan untuk menjaga satu-satunya harta berharga peninggalan sang suami.
[Bersambung]