Banda Aceh, Maret 2018
GADIS muda itu terpaku lama. Kulitnya putih bersih serta tinggi ideal. Ia mengenakan baju gamis hijau dengan jilbab yang warna sama pula.
Sejumlah mata pelanggan mengamatinya sejak ia datang. Namun focus perhatiannya justru tertuju pada seorang pelayan muda yang sedang sibuk melayani pelanggan di depannya.
Hampir 30 menit ia terdiam saat melihat pemuda di depannya itu bekerja. Pemuda itu sangat mirip dengan bocah yang dikenalnya belasan tahun lalu. Namun ia belum berani menegur pria itu.
Ia merasa bersalah atas semua yang terjadi di masa lalu. Kenangan itu menghantuinya selama bertahun-tahun.
Seminggu yang lalu, ia memperoleh tugas dari kantornya di Jakarta, untuk berkunjung ke Aceh. Ini sebenarnya bukan kali pertama ia datang ke Aceh. Daerah ini memiliki sejarah panjang dalam hidupnya. Bahkan ia kelahiran Aceh dan sempat mengenyam pendidikan dasar di salah satu daerah di Aceh.
Kunjungan pertama, ia datang ke daerah kelahirannya. Ia mencari seseorang guna menembus dosa di masa lalu. Namun sosok yang dicari tak kunjung ditemuinya. Ia kemudian menyerah dan kembali ke Jakarta.
Pada kunjungan ke dua, awal 2015 lalu, ia kembali ke Bireuen, dan berdasarkan informasi, sosok yang dicarinya kini berada di Banda Aceh. Ia-pun kemudian ke Banda Aceh dan menelusuri sejumlah tempat untuk mencari sosok itu, namun tak juga bertemu.
Seminggu lalu, kantornya kembali meminta ia ke Banda Aceh, untuk menggelar metting dengan jajaran pemerintah daerah. Ia pun langsung setuju. Ia tiba di Aceh sehari yang lalu, dan kemudian menyelesaikan urusan kantor.
Hari ini, kliennya tadi, mengajaknya untuk ngopi bersama di sudut kota Banda Aceh, dan di warung inilah ia kini berada.
Secara tak sengaja, ia kini melihat seorang pria yang mirip dengan bocah yang pernah dibenci sekaligus dirindukannya selama bertahun-tahun ini. Di satu sisi, ia ingin menyapa sang pemuda tadi untuk menghilangkan rasa penasarannya. Namun di sisi lain, ia juga takut salah orang.
“Mau pesan apa, Mbak,” tanya seorang pelayan tiba-tiba.
“Sanger ya. Sanger Aceh,” ujarnya sambil mencoba tersenyum. Namun perhatiannya masih focus pada pria yang berjarak sekitar 5 meter di depannya itu.
Saat pelayan tadi hendak pergi menyiapkan pesanan, sang gadis kembali memanggil.
“Mas maaf. Kalau boleh tahu, pria yang berdiri dekat rak burger itu siapa ya namanya,” ujarnya kemudian sambil menunjuk ke arah depan.
Pelayan muda tadi melihat ke arah yang ditunjuk oleh sang wanita. Ia kemudian tersenyum.
“Oh itu, Bang Thoyid,” ujarnya tersenyum.
Namun sang gadis justru berkerut kening. Sang pelayan pun kemudian buru-buru melarat.
“Sorry buk. Itu panggilan akrab kami. Nama aslinya Ibnu. Kalau gak salah namanya Ibnu Hajar. Apakah ibu termasuk salah seorang yang dipatahkan hatinya oleh dia,” kata pemuda itu setengah bercanda. []
[Bersambung]