IBNU kembali tersenyum. Ia tak tahu kenapa Dara tiba-tiba bertanya hal privasi seperti tadi. Namun karena mereka baru ketemu, ia menganggap pertanyaan tadi bagian dari basa-basi mereka setelah terpisah belasan tahun.
“Belum. Ada banyak target yang harus kucapai. Setidaknya aku ingin menjalankan wasiet orangtuaku terlebih dahulu,” ujarnya kemudian.
Dara menarik nafas panjang. Namun pertanyaan lainnya kembali meluncur dari mulut gadis cantik itu berselang menit kemudian.
“Apakah kau sudah memilih calon?”tanyanya lagi.
Pertanyaan kali ini membuat Ibnu mendadak diam. Dulu ia memiliki komitmen dengan seorang gadis cantik asal Ngawi, Jawa Timur. Namun kini ia telah pulang kampung. Beberapa waktu lalu, Ahmadi, kawan sekos-nya juga melihat wanita itu dekat dengan seorang pria berseragam militer. Ayah Riska juga tak merestui hubungan mereka.
Entah komitmen tersebut masih dipegang oleh Riska atau kini ia telah memiliki ikatan dengan pria lain.
“Haruskah aku mengungkapkan hal ini kepada Dara. Atau aku menganggap ini bagian dari masa lalu,” gumam Ibnu dalam hati.
Ibnu terdiam. Namun bahasa tubuh Ibnu membuat Dara yakin jika lelaki itu memiliki seseorang yang telah mengisi hatinya. Dara sedikit lesu. Ada hal yang coba diungkapkannya di depan Ibnu tapi kini ia ragu-ragu.
“Aku tak memiliki ikatan dengan siapapun. Ada seseorang yang sempat dekat, tapi keluarganya tak merestui. Ayahnya seorang tentara dan mungkin takdir tak bisa menyatukan kami,” ujar Ibnu kemudian.
Ibnu kembali terdiam. Ia mencoba tersenyum untuk menertawakan nasibnya sendiri.
“Mengapa Mbak Dara bertanya soal tadi? Bahkan aku seperti lajang lapuk?” ujar Ibnu mencoba bercanda.
Mendengar kata ‘Mbak’, Dara kembali cemberut. Ia ternyata tak suka dipanggil Mbak oleh Ibnu yang Cuma 2 tahun lebih muda darinya.
“Jangan bilang Mbak dong. Kamu cuma lebih muda dua tahun. Secara penampilan, aku juga terlihat jauh lebih muda dari kamu,” elak Dara. Keduanya kemudian tertawa lepas.
“Nu. Sebenarnya ada hal yang penting yang inginku sampaikan padamu. Ini soal wasiet ayahku dan ayah angkatmu. Bertahun-tahun aku mencarimu untuk menyampaikan wasiat ini. Aku merasa bersalah jika wasiat ini tak kusampaikan padamu,” kata Dara kemudian.
Ibnu mendadak terdiam. Sedangkan Dara memasang mimic wajah serius.
“Pertama, ayahku dan ayah angkatmu, ingin menyekolahkan kita hingga perguruan tinggi. Makanya saat masih hidup, ia ternyata telah membuat rekening atas nama dirimu dan aku. Uang terus disetor tiap bulan dari hasil usaha serta cabang usaha yang masih buka, hingga sekarang.”
“Aku telah mengunakan uang tersebut untuk sekolah hingga sekarang. Sementara rekeningmu tak tersentuh sama sekali. Aku baru tahu dari kakek dan nenekku saat SMA. Rekening milikmu terdaftar di salah satu bank di Bireuen. Aku tidak tahu jumlahnya berapa,” kata Dara sambil menyerangkan sebuat buku rekening tua.
Ibnu terkejut mendengar pengakuan Dara. Ia tidak menyangka jika ayah angkatnya benar-benar serius memikirkan masa depannya.
“Usai ayah meninggal, hanya satu warung yang dijual. Jatahmu dari penjualan warung tadi telah ditransfer ke rekening ini. Sedangkan beberapa usaha lain masih jalan dan diurus oleh sepupu ayah hingga sekarang. Tiap bulan, sesuai wasiet ayah, uang dikirim ke rekening ini untukmu dan aku,” kata Dara lagi.
Ibnu seolah tak percaya dengan perkataan Dara. Ia tiba-tiba mendapat solusi atas masa masa sulit yang dihadapinya selama ini.
[Bersambung]