Dara terdiam. Mereka berdua membisu hampir 10 menit lamanya.
“Baiklah. Aku setuju. Aku sependapat denganmu. Aku tak ingin wasiat ini membebanimu. Bahkan jauh sebelum bertemu denganmu, aku sudah siap jika seandainya kamu sudah berkeluarga dan kemudian wasiat ini tak berjalan,” kata Dara kemudian.
Penjelasan Dara ini membuat Ibnu sedikit lebih lega. Ini karena Dara lebih dewasa dalam menyikapi masalah yang terjadi.
“Aku menyukaimu jauh sebelum mengetahui adanya wasiat ini. Namun seperti kataku tadi, aku tak ingin mengikatmu jika engkau memang tak menghendakinya. Kalau kau ingin studi magister, berarti pernikahan kita bisa diundur hingga kau siap,” kata Dara lagi kemudian.
Ibnu terdiam.
“Ada satu lagi. Izinkan aku bertemu dengan seseorang dulu untuk menjelaskan hal ini kepadanya.”
Ibnu menyampaikan hal ini dengan nada yang aman pelan. Namun cukup jelas terdengar di telinga Dara. Dara yakin jika seseorang yang dimaksud oleh Ibnu adalah seorang wanita.
Ada rasa cemburu yang muncul dari dalam hatinya. Padahal ia baru bertemu dengan Ibnu setelah belasan tahun pisah.
Dara yakin jika wanita tersebut memiliki tempat tersendiri di hati Ibnu meski sosok tersebut belum mau mengakuinya.
“Apakah ia wanita yang kamu sebut kemarin tak mendapat restu dari orangtuanya? Bukankah kalian tidak pernah lagi bertemu beberapa tahun terakhir?” kata Dara lagi mengulang statemen Ibnu sehari sebelumnya.
Ibnu tersenyum. Ia tahu jika ada rasa cemburu yang muncul dari setiap perkataan Dara. Namun wanita di depannya itu sangat piawai bermain kata-kata.
“Ia benar. Namun aku ingin menyampaikan langsung soal wasiat ini kepada dirinya. Kuharap kau tak cemburu,” ujar Ibnu.
Dara hanya terdiam menyimak kata-kata Ibnu. Ia mengakui bahwa sebahagian besar yang dikatakan oleh Ibnu ada benarnya. Ia cemburu.
Ia dan Ibnu memang memiliki kisah di masa lalu. Ia juga menyukai pemuda itu sejak kecil. Kemudian ada wasiat dari almarhum ayah dan ibunya Ibnu agar mereka menikah. Namun perpisahan selama belasan tahun tentu bukan waktu yang singkat. Sebelum bertemu dengan Ibnu pun, ia yakin bahwa akan ada wanita yang mengisi hati pemuda itu dalam selang waktu yang panjang tersebut.
“Bagaimana jika seandainya ia tidak mau melepaskanmu? Orangtuanya tiba-tiba setuju?” tanya Dara kemudian.
Ibnu lagi-lagi terdiam.
“Apakah kau percaya pada takdir?” ujar Ibnu kemudian.
Dara mengangguk. Namun ia tidak mau langsung mengiyakan perkataan pemuda itu.
“Aku percaya jika kemauan serta usaha itu bagian dari takdir. Kalau kau menyerah maka takdirmu berubah,” ujar Dara kemudian.
“Lebih baik kita tutup dulu pembahasan ini. Kita diskusi seiring waktu. Izinkan aku untuk membuatmu memiliki rasa yang sama sepertiku hingga kau selesai magister. Kalau kau masih ragu hingga dua tahun kedepan. Aku akan menerima apapun keputusanmu soal rencana pernikahan kita.”
[Bersambung]