Dalam era digital seperti sekarang, kecepatan dan informasi adalah hal terpenting. Atas dasar ini kemudian para konsumen berbondong-bondong memakai smartphone atau telepon pintar. Tujuannya untuk mengakses informasi lebih cepat dan kemudian memberi keputusan tepat atas peristiwa yang terjadi.
Para entrepreneur, pialang saham, pengacara serta para politisi terbiasa update informasi permenit.
Ini karena mereka terbiasa mengakses informasi untuk memperoleh pengetahuan terbaru. Tentu informasi yang dicari sesuai selera masing-masing.
Hal ini pula yang membuat mereka memakai smartphone yang baru dipasarkan. Bahkan para petani di pedalaman sekalipun, juga memakai smartphone untuk meng-update pasar serta teknologi pertanian baru.
Namun di gedung DPR Aceh. Belakangan ini sejumlah kejadian ganjil terjadi. Dari 81 wakil rakyat di DPR Aceh, semua memakai smartphone. Tapi informasi yang mereka terima selalu telat dan kurang update.
Kasus tapal batas Aceh adalah salah satu contohnya. Pernyataan dari Syakir, Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Aceh, di Banda Aceh, terjadi pada Rabu 10 Juni 2020 lalu. Namun DPR Aceh baru tersentak pada Jumat 12 Juni 2020.
Butuh dua hari bagi DPR Aceh untuk merespon akibat yang terjadi.
“Telat informasi, tak tahu, tak diajak, dan tak diberitahu.”
Hanya itu alasan yang bisa digunakan.
Seperti halnya yang terjadi pada Jumat 12 Juni tadi, baru tiga orang yang tersentak dengan pernyataan Syakir.
Padahal Ketua DPR Aceh adalah alumni Yogya. Beberapa smartphone yang digunakan produk Jepang. Harusnya daya serap informasi lebih cepat. Kemudian ia bertindak cepat pulang untuk memberi kebijakan.
Namun yang terjadi justru nol besar. Tak ada reaksi apapun atas penetapan batas wilayah Aceh-Sumut yang tak merujuk peta I Juli 1956 sesuai poin yang tercantum dalam MoU Helsinki itu.
Padahal, konon kursi pimpinan tertinggi di DPR Aceh itu adalah milik Partai Aceh. Partai yang selama ini mengagung-agungkan kekhususan Aceh dalam setiap pemilu dan pilkada. “UUPA dan MoU harga mati.”
Sedangkan para wakilnya adalah mantan aktivis tulen sejak masa konflik.
Mungkin butuh beberapa hari lagi bagi pimpinan DPR Aceh untuk menelaah akibat yang akan terjadi pasca penetapan batas wilayah Aceh-Sumut sepihak oleh Kemendagri. Ini karena loading lama dan memori mereka penuh.
Para wakil yang berasal dari Parnas mungkin tak begitu mempersoalkan soal penetapan batas wilayah versi Kemendagri itu. Tapi bagaimana dengan Parlok? Bukankah MoU harga mati? Atau jangan-jangan fase perjuangan sudah berubah. MoU hanya jualan di kampanye. Sedangkan dalam realisasinya adalah paket aspirasi.
Puncuk pimpinan di DPR Aceh saat ini umpama sebuah smartphone yang kabelnya putus di dalamnya. Entah di sengaja atau tidak. Namun yang pasti banyak aspirasi yang tersumbat. Arus informasi yang mandek.
Kepercayaan rakyat seperti terkebiri. Buktinya, perjuangan puluhan tahun GAM serta penantian 15 tahun damai berakhir sia-sia. Batas Aceh tak merujuk MoU seperti yang diimpikan selama ini.
Suatu ketika, saat kabel smartphone itu tersambung, baik karena kombatan GAM atau basis massa protes, baru kemudian ia akan tersentak dan mengeluarkan pernyataan kejam serta protes. Padahal saat itu terjadi, semua sudah telat.
Tak cuma soal batas wilayah yang loading lama ke unsur pimpinan DPR Aceh, soal APBA Perubahan 2019 serta APBA 2020 juga berlaku hal yang sama. Janji pembentukan sejumlah Pansus juga tak pernah terwujud.
Kemudian juga soal kebijakan pusat lainnya yang merugikan Aceh tetapi lamban respon dari gedung terhormat itu.
Alasannya selalu tidak diajak atau tak diberitahu oleh eksekutif.
Padahal selaku wakil rakyat, mereka harusnya kritis setiap kebijakan eksekutif. Berdiri bersama rakyat. Konon lagi yang terjadi adalah amanah para pejuang yang telah tiada. Tapal batas Aceh harus merujuk ke MoU Helsinki.
Terakhir, untuk para ‘pimpinan partai’ pemilik smartphone di DPR Aceh, perlu membawa alat komunikasi itu sesegera mungkin ke tukang service untuk diperbaiki atau mengganti kabel yang putus tadi. Agar kedepan tak lagi loading lama dan memori penuh. Agar Aceh tak lagi kecolongan seperti sekarang.
“Puluhan tahun perang. 15 tahun penantian. Tapi pengesahan tak merujuk peta 1 Juli 1956.”
Selamat..!