SINAR matahari tak begitu menyengat Jumat sore kemarin. Dua mobil minibus melaju dengan kecepatan sedang.
Salah satunya ditumpangi oleh Senator DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi Lc. Tujuannya menuju ke Alue Tuwi di pedalaman Rantau Selamat, kabupaten Aceh Timur. Konon jaraknya sekitar 25 kilometer dari jalan Banda Aceh- Medan.
Syech Fadhil dan rombongan ingin menjenguk keluarga dari almarhum sahabatnya semasa aktif di KNPI Aceh yang kini dikabarkan berada di Alue Tuwi.
Almarhum meninggalkan seorang istri dan anak yang masih kecil-kecil. Sekitar tahun 2016 lalu, ia mengaku pernah berjanji untuk membantu pendidikan anak almarhum sahabat tersebut.
“Kalau saya diberi kemudahan kedepan, saya akan membantu pendidikan anak almarhum,” ujar Syech Fadhil saat itu di sela-sela menyerahkan bantuan dari KNPI kepada istri almarhum saat bertemu di pintu masuk jalan Rantau Selamat.
“Kalau tidak salah, itu sekitar tahun 2016. Kami bertemu di dekat jalan raya,” cerita Syech Fadhil.
Kini setelah berselang tahun, Syech Fadhil terpilih sebagai anggota DPD RI. Ia teringat dengan janjinya tadi. Hal ini pula yang membuatnya ingin menuju Alue Tuwi meski belum pernah berkunjung ke daerah pedalaman itu.
Namun tak ada sinyal handphone di Alue Tuwi. Hal inilah yang membuat rombongan ini susah untuk mengetahui keadaan di sana. Tapi rombongan tetap bertekad untuk menuju lokasi.
“Sekitar dua jam perjalanan,” ujar seorang warga di pintu masuk Jalan Rantau Selamat. Ia pedagang dan tak sempat menyebutkan namanya.
Usai berdiskusi ringan, perjalanan berlanjut sekitar pukul 16.23 WIB. Mobil melaju dengan kecepatan sedang yang hanya beralas tanah liat serta batu seukuran bola kali. Kiri kanan hanya pohon sawit tua yang menulam tinggi.
Waktu tempuh ternyata jauh lebih lama dari perkiraan pedagang di pintu masuk tadi. Medan yang berat membuat laju kian melamban. Beberapa kali, kedua mobil harus berhenti karena kubangan besar di tengah jalan.
Namun kemahiran para sopir membuat laju kendaraan berlanjut hingga Damar Siput. Saat itu, awan hitam mulai menghiasi langit di sana. Beberapa mobil Dam Truk terhenti di tanjakan Damar Siput. Ada sejumlah warga yang sedang bongkar muat sawit dari Dam Truk ke mobil yang berbadan besar di sana.
“Tak akan sampai pak. Dua mobil ini tak sampai di Alue Tuwi. Lumpurnya sebahu orang dewasa,” ujar seorang pria ditanjakan tadi.
Belakangan ia memperkenalkan diri dengan nama Ibrahim. Ibrahim adalah penarik RBT dari Damar Siput menuju jalan Medan-Banda Aceh.
“Hanya kendaraan Combet yang bisa melintas,” kata Ibrahim lagi.
Untuk membuktikan perkataan Ibrahim, salah seorang rombongan kemudian ikut warga untuk melihat jalan berlumpur di depan. Sekitar 15 menit kemudian ia kembali dengan kepala menggeleng berulang kali.
“Gadoh reman sang kali nyoe. Lumpuh enoe,” ujarnya sambil menunjukan tangan di leher.
Ibrahim terkekeh. Menurutnya, lumpur di Damar Siput baru satu titik. Sedangkan untuk menuju Alue Tui, ada sekitar 5 titik dalam berlumpur laksana sungai yang harus ditempuh.
Keberadaan Syech Fadhil dan rombongan di tanjakan Damar Siput ternyata menarik perhatian warga setempat. Di sana warung kecil di tepi tanjakan yang biasa dijadikan tempat melepas lelah bagi warga.
“Nyoe Teungku Fadhil ya? Sahabat UAS,” ujar Shinta Ruhami, remaja yang mengaku pencinta UAS dan aktif setiap mengikuti pengajian UAS yang berada di Langsa dan Aceh Timur.
Warga kemudian mengerumuni warung tadi.
“Jarang ada pejabat yang datang kesini,” ujar Ibrahim.
Razali, lelaki paruh baya lainnya di sana menambahkan, jalan Rantau Selamat menuju Alue Tuwi memang memprihatinkan.
“Masih untung sekarang bukan musim hujan. Kalau hujan bisa seharian untuk mencapai lokasi. Itu pun harus menggunakan Combet,” ujarnya.
“Sudah puluhan tahun merdeka. Sudah beberapa bendera berganti, jalan ini masih seperti sekarang,” ujar Razali.
“Digop ka merdeka. Tapi kamoe gohlom merdeka,” ujar pria muda lainnya.
Kepada warga, Syech Fadhil kemudian menceritakan kronologis maksud dan tujuannya datang ke Alue Tui.
Warga yang mendengar ternyata tersentuh. Suasana sempat hening untuk beberapa saat.
“Sayang pak. Kondisi jalan ini memang rusak parah. Combet saja susah untuk tembus ke Alue Tuwi,” kata seorang pemuda di sana. Saat itu hari mulai berganti malam. Namun warung masih penuh dengan penerangan seadanya.
Menurut Ibrahim, dari Damar Siput ke Alue Tuwi memerlukan waktu tempuh hingga dua jam lagi. Padahal cuma melintasi 4 desa.
“Itupun dengan menggunakan Combet. Inilah daerah kami yang belum merdeka pak,” ujarnya lagi.
Ibrahim menyarankan rombongan untuk kembali ke arah pintu masuk di jalan Medan-Banda Aceh tadi serta menempuh jalur lain yang dinilai relative lebih bagus dari jalan yang mereka miliki.
Hampir satu jam di lokasi, rombongan akhirnya menuruti saran dari Ibrahim dan warga Damar Siput.
Rombongan memutuskan kembali ke Langsa serta mencoba rute lain untuk menuju Alue Tuwi pada Sabtu pagi.
“Neusampaikan bahwa pemimpin kamoe siat pak. Bahwa kamoe belum merdeka,” ujar seorang pemuda di sana di ujung pertemuan.
Seperti halnya perjalanan tadi, waktu tempuh dari Damar Siput menuju pintu masuk berlangsung hampir 2 jam lamanya. Rombongan memilih istirahat di Kota Langsa. Sabtu pagi akan mencoba rute lain seperti yang disampaikan Ibrahim dan warga Damar Siput untuk menuju Alue Tui.
Karena hambatan tak menyurut tekad menuju Alue Tui.