ACEH UTARA – Hukuman cambuk yang dijatuhkan terhadap ustad yang melakukan pelecehan seksual terhadap dua santri laki-laki di Aceh Utara, Provinsi Aceh, disebut pegiat dan pengamat tidak memberikan efek jera terhadap pelaku yang kedekatannya dengan korban dianggap ‘biasa’ .
Mereka memberikan tanggapan tersebut menyusul pencambukan terbaru pada Rabu (15/07) terhadap MZ, 37 tahun, seorang ustad di salah satu pesantren di Aceh Utara.
Namun pihak berwenang menegaskan hukuman itu memberikan pembelajaran bagi pelaku dan bagi masyarakat.
Dalam kasus pelecehan seksual terhadap dua santri laki-laki itu, ia divonis dengan hukuman cambuk 74 kali di halaman Kantor Kejaksaan Negeri Aceh Utara, setelah menjalani hukuman penjara selama enam bulan.
“Modus terjadinya pelecehan seksual ada banyak, seperti kekerasan, ancaman, tipu daya, dan relasi kuasa yang tidak seimbang yang membuat korban tidak berani untuk melaporkan kasus pelecehan seksual, sehingga kasus pelecehan terhadap anak terjadi berulang,” kata Eliyati, ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh Utara, kepada Hidayatullah, wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (17/07).
Eliyati menambahkan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru mengaji terhadap santri bukan kali pertama, sebab kasus pelecehan serupa sebenarnya sudah terjadi sejak 2009.
“Kebanyakan kasus memang sudah terjadi secara berulang kali dalam kurun waktu yang lama, baru kemudian terungkap, di Aceh Utara. Dari Januari 2020 sampai sekarang ada sekitar 70 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, 40 di antaranya adalah kasus pelecehan seksual,” jelas Eliyati.
Berdasarkan pendampingan yang dilakukan oleh Eliyati, kebanyakan kasus pelecehan seksual yang terjadi di wilayah Aceh Utara, Lhokseumawe, Bireuen, dan Bener Meriah, dilakukan oleh orang-orang terdekat korban sehingga minim kecurigaan dari keluarga korban.
“Orang melihat kedekatan antara guru mengaji atau tetangga terdekat ialah hal biasa. Apalagi misalnya, si anak disuruh untuk memijat badan ustadnya, itu kan dianggap sebagai berbakti, tetapi malah terjadinya kasus pelecehan seksual,” jelas Eliyati.
Sejauh ini, menurutnya, kecurigaan lebih berpusat kepada muda-mudi yang berduaan sehingga lahirlah produk hukum seperti larangan mengangkang dan duduk semeja di warung kopi, padahal kekerasan dan pelecahan seksual itu malah terjadi pada orang-orang yang tidak diduga.
‘Bisa pura-pura sakit’
Pada awal 2020, dua pelaku pelecehan seksual yang tak lain guru mengaji dan pimpinan pesantren juga terjadi di wilayah Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, jumlah korbannya mencapai 15 orang santri.
Kedua pelaku masing-masing dihukum penjara selama 170 bulan dan 190 bulan, setelah melakukan perbuatan pelecehan sejak September 2018 hingga Juli 2019.
“Cambuk sama sekali tidak mampu memberikan efek jera bagi para pelaku, karena selanjutnya tidak ada upaya- upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk pemulihan korban, seperti pendampingan sosial dan bagaimana kemudian korban bisa kembali berinteraksi di tengah masyarakat,” kata Eliyati.
Dikatakannya, hukuman fisik semata tanpa pembinaan bagi pelaku pelecehan seksual, justru akan membuat pelaku akan kembali melakukan hal yang sama.
“Kami tidak merasa hukuman ini memberikan keadilan bagi korban, dan tidak ada memberikan efek jera dan pembelajaran pada orang lain, karena cuma dicambuk 70 kali dan kalau tidak tahan masih bisa pura-pura sakit, terus besok mengulangi lagi,” terang Eliyati.
Oleh karena itu ia menyarankan agar ada hukuman yang berat untuk para pelaku kekerasan seksual.
“Kami merasa ini malah berpotensi orang gampang kali melakukan kekerasan, tak takut dia, tapi misalnya kalau ada ancaman 10 tahun, 15 tahun, orang bakalan mikir untuk melakukan kesalahan,” kata Eliyati.
Hal senada juga dikatakan oleh Sehat Ihsan Sadiqin, Ketua Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry.
Ia mengatakan kasus pelecehan seksual di lingkungan keagamaan sebenarnya bukan baru kali ini, berdasarkan penelitian yang ia lakukan.
“Kalau kita melihat statistiknya itu hampir setiap tahun kasusnya meningkat di Aceh, bahkan di tahun 2012 pelakunya pengurus masjid dan terjadinya di salah satu masjid di Aceh Besar, bahkan di tahun berapa itu WH memperkosa tahanannya,” kata Sehat Ihsan Sadiqin, Dosen di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.
WH yang ia maksud adalah Wilayatul Hisbah atau lembaga pengawasan pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh.
Menurut Sehat Ihsan Sadiqin, ini bukan persoalan kelembagaannya, tapi persoalan sosio kultural secara kesuluruhan yang sangat patriarki yang cenderung “memuliakan laki-laki” yang mengakibatkan salah satu pihak lebih ditinggikan dari pihak yang lain.
“Ketika bicara secara kelembagaan, pengurus lembaga dianggap lebih kuat dari anak didiknya dan anak didiknya harus patuh pada yang diakatakan.
Nah konstruksi sosial semacam inilah yang membuka ruang-ruang pelecehan seksual itu,” jelasnya.
Sehat Ihsan Sadiqin lebih lanjut mengatakan seharusnya pengawasan dilakukan oleh orang-orang terdekat, celakanya banyak kasus ini dilakukan oleh orang terdekat, baik di kalangan keluarga, maupun ditempat-tempat yang dipercayai seperti lembaga pendidikan.
“Penyadaran terhadap lebih banyak orang tentang kesetaraan, tentang kehormatan, tentang pengetahuan bahanya pelecehan seksualitas itu harus terus ditingkatkan. Jadi semua kita bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan itu,” kata Ihsan.
Secara personal Ihsan, menjelasakan cambuk itu tidak akan efektif memberikan efek jera, seperti tokoh agama yang melakukan pelecehan di Lhokseumawe kemudian dicambuk dan selesai.
“Saya rasa itu tidak akan mempengaruhi pelaku-pelaku yang lain, karena cambuk itu tidak terlalu menyakitkan dan tidak terlalu menakutkan juga.
“Saya sedih juga ketika melihat berita-berita di media yang tetap membuat inisial nama pelaku, padahal dia telah dicambuk,” kata Ihsan.
Sementara itu, Kepala Bidang Bina Hukum Dinas Syariat Islam Aceh, Husni, mengatakan hukuman cambuk dalam konsep Islam adalah hukuman utama untuk dilakukan pada orang-orang yang melakukan perbuatan jinayat dan memberikan pembelajaran bagi pelaku dan bagi orang-orang yang melihat di kalangan masyarakat.
“Kalau sudah dilakukan ditengah-tengah masyarakat seharusnya menjadi efek jera bagi pelaku. Saya kira ada pengaruh-pengaruh lain. Walaupun bukan dalam bentuk hukuman cambuk kadang-kadang efek jera itu juga tidak berpengaruh seperti pada hukuman penjara dan macam-macam hukuman lain,” kata Husni.
“Ini tergantung selama ada nafsu manusia, ada juga kecendrungan-kecendrungan untuk melakukan kejahatan karena dia belum pernah menerima hukuman seperti itu. Ini kembali lagi kepada kita, lahirnya peraturan perundang-undangan bisa kita pahami atau tidak,” jelas Husni.
Pelecehan seksual nomor tiga terbanyak
Dalam lembar qanun hukum jinayat yang disahkan pada 2014, disebutkan hukuman bagi pelaku pelecehan seksual diancam dengan hukuman 45 kali cambuk atau denda paling banyak 450 gram emas murni atau penjara paling lama 45 bulan.
Sedangkan pelaku pelecehan seksual terhadap anak (peadofil) diancam dengan hukuman cambuk 90 kali atau denda paling banyak 900 gram emas murni atau penjara 90 bulan.
Bedasarkan data dari Satpol PP & WH Aceh, sepanjang 2017 sampai 2019, terdapat tiga kasus yang mendominasi pelanggaran syariat islam di Aceh.
Pelanggaran terbanyak adalah kasus berduaan tanpa orang lain (khalwat) sebanyak 525 kasus, kasus bercampur atau berbaur dengan bukan mukhrim (ikhtilat) sebanyak 505 kasus. Adapun pelecehan seksual menempati posisi ketiga dengan 314 kasus.
Kepala Dinas Badan Dayah Aceh Utara, Abdullah Hasbullah, membantah jika pesantren atau dayah di wilayahnya tersebut dikatakan kecolongan dalam hal pengawasan.
Menurutnya, peristiwa itu terjadi di dayah atau pesantren yang jumlah santrinya banyak.
“Kasus pelecehan seksual di pesantren baru pertama kali terjadi. Itupun bukan dilakukan oleh guru mengaji tetapi oleh petugas maintenance, meskipun sesekali “pelaku pelecehan” masuk mengajar ketika guru bersangkutan tidak hadir,” tutur Abdullah, bedasarkan pengakuan pihak pesantren.
Abdullah menambahkan, terdapat 197 pesantren di Aceh Utara yang terbagi dalam tiga model, dari jumlah tersebut terdapat 2.571 orang guru pengajian, dan 43.000 santri.
“Di dayah ini anak-anak tidak seperti di apartemen, karena mereka di satu kamar itu kadang ada yang 10 orang, ada yang 20 orang, khususnya dayah-dayah yang banyak muridnya.
“Kalau sekarang kan orang tua ingin anak-anaknya sekolah di pesantren atau dayah, sehingga setiap tahun dayah terpadu semakin bertambah peminatnya,” jelas Abdullah.
Menurut Abdullah, kasus pelecehan seksual terjadi karena kurangnya sosialisasi dan pengawasan kini harus diperketat, pimpinan dayah dan dewan guru harus meningkatkan pengontrolan anak-anak didiknya sehingga kasus serupa tidak terulang.
Bagaimanapun Dinas Badan Dayah tidak bisa menjatuhkan konsekuensi, lantaran tidak terikat seperti Dinas Pendidikan dengan sekolah umum.
“Konsekuensinya tidak tampak mutlak dengan dayah, karena dayah bersifat mandiri, kita tidak terikat seperti dinas pendidikan dengan sekolah umum. Kita cuma membina, melakukan koordinasi, singkronisasi, kerjasama, komunikasi,” kata Abdullah Hasbullah.
Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum ustad MZ, sejatinya terjadi di salah satu pesantren dengan predikat grade A.
Kepala Dinas Badan Dayah, Abdullah, menjelaskan setiap dua tahun sekali pihaknya melakukan evaluasi kepada setiap dayah-dayah untuk penambahan atau pengurangan. Bagi pesantren yang tidak mampu lagi maka akan dilakukan penurunan grade, dan bahkan sampai dihilangkan predikatnya.