Oleh. Nazarullah, S.Ag, M.Pd*
Ada ungkapan Bangsa Pasthun Afganisthan yang berbunyi: ”Kalaupun seekor keledai sampai ke Mekkah, dia tetap saja seekor keledai”. Di Ethiopia pun ada ungkapan: ”Anak sapi yang bergaul dengan seekor keledai akan belajar untuk kentut”. Jadi jelas, keledai bukan saja binatang yang sulit diatur oleh manusia, tapi juga sejak dahulu sudah menjadi simbol bagi sifat keras kepala, bodoh, serta berisik pula.
Dalam Al-Quran banyak disebutkan pemisalan nama-nama binatang dan juga suara binatang. Pemisalan ini bukan tidak punya makna, semua hal yang Allah sebutkan di dalam Al-Quran punya maksud tertentu. Salah satu pemisalan yang disebutkan dalam Al-Quran yang menggelitik kita adalah tentang keledai. Keledai (Equus asinus) adalah mamalia dari keluarga Equidae. Merupakan hewan jinak yang digunakan untuk bertransportasi dan kerja lain, seperti menarik kereta kuda maupun membajak ladang.
Ketika mendengar kata ”keledai”, mungkin yang tergambar dalam benak kita adalah seekor binatang yang lamban, lemah, bahkan sering diidentikkan dengan binatang yang bodoh. Namun demikian, dalam Al-Quran Allah telah mengabadikan binatang ini sebagai sebuah pemisalan terutama tentang suara keledai. Sudah barang tentu, dibalik penukilan suara keledai yang Allah abadikan di dalam Al-Quran punya hikmah yang bermanfaat bagi manusia. Tinggal lagi manusia menelusuri secara ilmiah, mengapa Allah sebutkan atau bahas tentang suara kelesai. Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman: “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suaara adalah suara keledai”. (QS. Lukman: 19).
Jalaluddin Rahmat dalam sebuah tulisannya pernah menjelaskan bahwa keledai memiliki sifat yang buruk, berbeda dengan sifat hewan atau binatang lain. Salah satu sifat yang tergolong tidak baik pada keledai dan dianggap egois adalah dia hanya bersuara jika behubungan langsung dengan kepentingan dirinya seperti lapar, haus dan jika mau kawin. Artinya, keledai ini tidak akan peduli dengan kondisi di sekelilingnya jika belum menyangkut dengan kepentingannya atau hajat kebutuhannya.
Dalam kehidupan umat manusia, tamsilan keledai bersuara pada saat-saat tertentu dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari yang hanya bersuara saat berkaitan dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ada manusia yang bersuara lantang jika mau diberikan sejumlah uang, dan ada pula sekelompok manusia yang biasanya bersuara lantang melawan kezaliman, tiba-tiba suaranya mengecil bahkan hilang sama sekali saat diberikan sejumlah uang yang telah “menyumpal mulutnya”.
Manusia yang diumpakan Allah dalam Al-Quran yang mirip suara keledai sangat gampang kita temukan dalam keseharian. Dia diam seribu bahasa jika diminta untuk bersuara dalam membela kepentingan orang lain. Namun, saat membela kepentingan pribadi, suaranya bisa muncul tiba-tiba bahkan dengan bersusah payah dia juga mengajak orang-orang lain untuk mendukung suara demi membela aspiarasi yang dia angkat. Bila belum berhasil terhadap aspirasi yang dia usung, suara demi suara akan terus dia suarakan, namun pada saat apa yang telah dia suarakan suatu saat nanti berhasil, maka dia akan terdiam kembali dan suaranya nyaris tidak terdengar lagi.
Konon, kata Jalaluddin Rumi, dahulu kala ketika semua makhluk diciptakan, mereka diberi kemampuan mengeluarkan suara. Ketika suara itu keluar pertama kalinya, semua makhluk memuji dan mengagungkan Allah, kecuali satu jenis makhluk yaitu keledai. Keledai hanya mau bersuara kalau lapar atau ingin memuaskan nafsunya. Di Dunia ini, banyak orang seperti keledai. Dunia boleh bergejolak, hutan terbakar, kelaparan di mana-mana. Mereka diam dan tidak berkomentar apapun.
Masyarakat boleh resah, jutaan orang kehilangan pekerjaan, jutaan bayi mati karena tak mampu menyusu. Mereka juga diam. Tetapi, manakala mereka dihadapkan pada persoalan pribadi atau kelompok seperti pembayaran gaji dan tunjangan mereka sendiri, mereka angkat bicara. Segera setelah tuntutan kenaikan gaji mereka terpenuhi, mereka sunyi kembali.
Ada juga orang-orang yang bersuara keras, vokal dan kritis. Mereka dimana-mana berlaku layaknya singa mimbar. Suaranya lantang terdengar di mana-mana yang terkesan sedang memperjuangkan hak-hak orang yang tertindan. Namun tiba-tiba suaranya hilang tak terdengar lagi. Rupanya kini sudah menduduki jabatan basah atau mendapatkan sesuatu diantara orang-orang yang dulu dikecamnya. Rupanya, suara keras itu hanya suara keledai. Suara yang keluar manakala ia lapar.
Wallahu a’lam.
Dikutip dari berbagai sumber
• Nazarullah, S.Ag, M.Pd. adalah Widyaiswara pada Balai Diklat Keagamaan Aceh