Jakarta – Pemerintahan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson disebut diam-diam sangat berharap Presiden Donald Trump kalah dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada November mendatang.
Meski Johnson dikenal secara publik merupakan sekutu terdekat Trump, pemerintah Inggris disebut diam-diam berupaya menjaga jarak dengan pemerintahan AS saat ini sebagai antisipasi jika rival Trump, Joe Biden, menang pemilu.
“Hal-hal akan menjadi jauh lebih mudah jika Trump tidak menang lagi dalam pemilu. Diam-diam, banyak (orang dalam pemerintahan Inggris) setuju,” kata salah satu menteri dalam kabinet Johnson mengatakan kepada the Sunday Times pada Minggu (27/6).
Tak hanya berharap Trump kalah, beberapa pejabat tinggi Inggris juga menginginkan Joe Biden menang pemilu.
Dilansir Business Insider, seorang diplomat senior Inggris yang tak ingin disebutkan identitasnya mengatakan bahwa pemerintahan AS di tangan Biden akan menjadi akhir baik bagi “korupsi besar-besaran” era pemerintahan Trump.
“Banyak hal yang akan berubah jika Biden menang. Korupsi kejam yang dilakukan keluarga Trump dan sifat narsistik yang buruk dari perilakunya, semua itu akan berakhir dengan presiden baru,” kata diplomat tersebut.
Sejauh ini, survei pemilu AS memaparkan data bahwa Biden semakin unggul menjauhi Trump. Berdasarkan survei pemilu Quinnipiac University pada pekan lalu, Biden unggul 15 poin dari Trump.
Mayoritas pemilih yang terdaftar dalam jajak pendapat itu atau 52 persen responden menyatakan akan mendukung Biden dalam pilpres November mendatang.Sementara itu, sebanyak 37 persen responden lainnya menuturkan akan mendukung Trump.
Meski begitu, Biden dan Johnson terlihat tidak memiliki kedekatan. Biden bahkan menolak gagasan Brexit Johnson.
Wakil Presiden AS era Barack Obama itu bahkan sempat menganggap Johnson sebagai “kembaran” Trump.
Namun, di sisi lain, relasi AS-Inggris saat ini tengah merenggang terutama setelah Trump memaksa Johnson memutus hubungan dengan perusahaan telekomunikasi China, Huawei.
Trump dilaporkan sempat membanting telepon dari Johnson pada Januari lalu saat Johnson menolak permintaannya membatalkan perjanjian antara Inggris-Huawei dalam pengembangan jaringan komunikasi 5G Inggris.
Inggris akhirnya mengalah setelah AS menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah perusahaannya yang berhubungan dengan Huawe.