Akhir-akhir ini, setelah pemilihan umum atau lebih akrab di sebut pemilu tahun lalu. Tatanan perpolitikan di Aceh tak kunjung membaik. Konon dalam ingatan, bahwa setelah pemilu tahun berakhir maka proses politik akan lebih sejuk dengan gagasan besar yang di lakukan bersama. Tetapi, kini yang terjadi malah sebaliknya. Hanyalah menjadi utopia kita bahwa kondisi politik di Aceh akan berangsur baik.
Kepentingan demi kepentingan kian tergambarkan menurut warna yang di bawa, tak ada kesempatan bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya, seakan semua itu tuntas setelah pemilihan berakhir. Kini adalah saatnya ‘mengembalikan’ modal yang sudah terbuang demi suara. Tak heran jika para utusan rakyat itu saling tarik ulur kepentingan dan mengenyampingkan hajat hidup orang banyak. Jikapun ada, itu hanya sebagai bahan framing di media agar di anggap peduli pada jelata.
Dalam memilih utusan baik ke parlemen (legislatif) maupun menjadi nahkoda Aceh (eksekutif) telah dilalui proses pemilihan yang demokratis dengan mengedepankan azas jurdil (jujur dan adil). Tetapi dalam satu istilah pemimpin dalam demokrasi, harus memiliki habbits of the heart atau kebiasaan yang datang dari hati. Hal ini diharuskan karena memang tujuan dari politik yang sebenarnya adalah bagaimana mendistribusikan kesejahteraan dan keadilan.
Secara filosofis, ketika kita bicara sejahtera maka kita akan masuk pada ethic dari Jeremy Benthem (etika utilitarian), tidak mungkin kita mensejahterakan semua orang karena itu mesti dipilih, di dalam urusan kesejahteraan (walfare) prinsip yang berlaku adalah the greatest happiness of the greatest number yang terbanyak sudah bisa sejahtera maka secara ekonomi kita bagus, itu namanya sejahtera.
Tetapi ada variabel lain yaitu keadilan, dalam keadilan tidak bisa berlaku prinsip utilitarian the greatest happiness of the greatest number karena adil artinya mencari yang tersisih. Mereka yang tertinggal dan tersisih itu yang harus di cari oleh penguasa, itu namanya prinsip keadilan. Dalam etika kant-tian satu orang tersisih dia harus di cari, dalam etika utilitarian kalau banyak orang yang sudah bisa sejahtera maka itu baik, karena memang tidak mungkin mendistribusikan secara sempurna sumber daya yang terbatas. Tapi soal keadilan adalah soal rasa, bathin kita dan rasa hati kita.
Kini para politisi kita sibuk pada berbagai kepentingan kelompoknya, sehingga carut marut politik ini mengenyampingkan kesejahteraan dan keadilan yang harus diperoleh rakyat. Kemudian merembes pada hajat hidup orang banyak di tengah peningkatan covid-19 yang kian bertambah, tetapi tidak pernah mendapatkan kepastian terkait apa kebijakan untuk melindungi segenap nyawa aneuk nanggroe.
Dampak ekonomi yang seakan kian tak ada solusi hingga kesehatan yang kini terus terancam. Apa kerjanya mereka di gedung-gedung itu? Rakyat kini tak butuh dulu multy years, bendera, stiker BBM, dan entah berantah yang tak begitu urgent. Rakyat butuh kepastian tentang bisa bertahan secara ekonomi dan sehat wal afiat.
Agak riskan memang berharap sedikit bahagia datang dari pemerintah, yang asik tepuk tangan karena sudah di resmikan tol, yang kemudian saling tampil sangar di media seakan peduli rakyat jelata. Padahal multy years tetap dilelang, kendati sudah di ketuk palu oleh DPR Aceh. Perselisihan dua kubu ini kapan akan berakhir?
Jika di ambil kesimpulan dengan mengunakan etika utilitarian dan etika kant-tian. Maka, pemerintahan di Aceh bisa di anggap gagal. Tentu dengan prinsip-prinsip dasar tersebut, sudah terbukti tidak bisa mensejahterakan, lalu tidak mampu memberikan keadilan.
Dalam memikirkan tentang bagaimana menyelenggarakan pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat banyak, para politisi menghadapi dua persoalan yang harus di selesaikan. Persoalan pertama menyangkut keahlian teknis, dan persoalan lainnya merupakan suatu hal yang bersifat metafisik.
Persoalan keahlian teknis, sebagaimana halnya semua persoalan yang serupa, pada dasrnya adalah persoalan teknis. Hal ini merupakan persoalan tentang cara, dan dengan cara inilah para politisi kita akan menjadi politisi yang terpelajar. Persoalan cara ini membicarakan masalah-masalah tentang ‘di mana’ dan ‘kapan’ sesuatu itu akan dilakukan. Tentu saja, ada beberapa cara berlaku untuk keahlian teknis, dan dalam hal-hal semacam itu barangkali memang ada juga cara yang paling baik. Politisi harus menyediakan wawasan, konsep, cara pandang agar proses untuk kemaslahatan ummat tercipta. Hal ini membutuhkan pertimbangan dan alasan yang kuat, dan ini menurut penulis adalah sebuah problem metafika.
Maka diperlukan kajian dan duduk bersama para pemangku kepentingan untuk memastikan kebijakan yang dijalankan berpihak pada kepentingan khalayak ramai, yang kemudian dapat mengerakkan sektor-sektor lain seperti; ekonomi, kesehatan, pendidikan, dll. Banyak harapan baik dari penulis maupun pembaca tentunya, agar pihak legislatif Aceh dan Pemerintah Aceh duduk bersama, serta di tengahi oleh Wali Nanggroe sebagai orang tua, supaya tercipta iklim perpolitikan yang lebih sejuk dan kondusif. Kemudian, duduk bersama juga harus melahirkan solusi yang solutif di tengah kemelut perpolitikan dan ekonomi Aceh yang carut-marut karena saling sikut. Ke depan semoga semua elemen dapat berpegangan tangan untuk membangun Aceh bersama.
Penulis adalah Muhammad Zaldi, mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email : [email protected]