Jakarta – Komunitas Advokasi dan Kampanye Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) mengaku kecewa atas keputusan Kementerian Pertanian (Kementan) mencabut kembali aturan yang menetapkan ganja sebagai salah satu tanaman obat.
Sebelumnya, Mentan Syahrul Yasin Limpo memasukkan ganja sebagai salah satu tanaman obat lewat Kepmentan RI Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020. Namun, hari ini Kepmentan tersebut dinyatakan dicabut sementara karena ingin berkoordinasi dengan BNN, Kemenkes, dan LIPI.
“Kami amat menyesalkan sikap Kementerian Pertanian yang akhirnya mencabut Kepmentan tersebut. Kami berharap Kementeran Pertanian tetap pada posisi awalnya dan mempertahankan Kepmentan tersebut,” kata Koordinator AKSI Yohan Misero seperti dikutip dari rilis resmi, Sabtu (29/8).
Yohan mengatakan seharusnya aturan yang sempat dibuat itu aturan menteri tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian diapresiasi karena menunjukkan sikap progresif terhadap kebutuhan pengobatan masyarakat.
Lebih lanjut, AKSI menilai regulasi narkotika Indonesia yang ketat memiliki banyak dampak buruk, baik secara sosial, anggaran, hak asasi manusia, serta kesehatan masyarakat.
Ia mencontohkan kasus yang menjerat Fidelis Arie pada 2017 lalu. Fidelis ditangkap karena mengobati almarhumah istrinya, Yeni Riawati, dengan ekstrak ganja. Yohan menilai karena proses hukum pada Fidelis itu mengakibatkan terhentinya akses ekstrak ganja yang berujung pada kematian Yeni.
Itu secara tak langsung karena UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika melarang ganja untuk dimanfaatkan secara medis dan merupakan narkotik golongan I bersama dengan sabu, kokain, opium, heroin.
Hal serupa juga terjadi pada Reyndhart Rossy Nahisa Siahaan yang tahun ini diproses hukum karena membeli dan menguasai ganja untuk dimanfaatkan secara medis buat dirinay sendiri. Reinhard diproses hukum dan dipidana 10 bulan penjara.
“Harapan kami agar K/L lain justru berusaha untuk merespons Kepmentan ini dengan sikap yang lebih suportif. Toh, Kepmentan ini tidak serta merta mengubah lanskap regulasi narkotika di Indonesia karena butuh perubahan mendasar di UU Narkotika dan/atau Peraturan Menteri Kesehatan terkait penggolongan,” ucapnya.
Pemerintah Mesti Melihat Sisi Positif Ganja
Terpisah, Pemerhati ganja asal Aceh Syardani M Syariaf alias Tgk Jamaica meminta pemerintah mesti melihat sisi manfaat dari tanaman ganja baik dari sisi medis maupun untuk kuliner.
Di Aceh pada masa lampau, kata dia, ganja digunakan sebagai bumbu untuk masakan. Kebiasaan itu pun terkendala dengan hadirnya undang-undang yang menjadikan ganja sebagai bagian dari narkoba.
“Undang-Undang ini yang telah menjadikan ganja sebagai tanaman ilegal dan haram. Ini masalah utamanya,” kata Tgk Jamaica kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (29/8).
Menurutnya selama ini Indonesia masih impor sebanyak 92 persen bahan baku obat-obatan, dan ia menduga di dalamnya juga termasuk dari bahan baku ganja.
“Di luar negeri ganja sudah dimanfaatkan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, mulai dari kesehatan atau obat-obatan, kosmetik, makanan, minuman, industri tekstil, kertas, perumahan, perabotan, otomotif dan lainnya,” katanya.
Untuk di Aceh, ganja tumbuh subur tanpa pupuk dan dinilai sebagai kualitas terbaik nomor wahid di dunia. Jika dikelola secara profesional, ganja dapat menjadi sebuah potensi sumber ekonomi dan menambah penghasilan untuk negara.
Untuk itu ia minta Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan peninjauan kembali terhadap UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
“Kalau bisa UU itu direvisi supaya ganja dikeluarkan dalam daftar narkotika golongan I. Sehingga ganja akan dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia,” katanya.
Sebelumnya, Kementan mencabut Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang menyatakan ganja sebagai tanaman obat binaan Dirjen Hortikultura.
Lewat rilis resmi, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan bahwa pihaknya akan mengkaji kembali Kepmen terkait dan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait.