Banda Aceh – Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh belum mengambil sikap terkait program penceramah bersertifikat yang digagas Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi. Ulama Tanah Rencong meminta pemerintah memperjelas rumusan sertifikasi.
“Kita MPU belum mendukung atau menolak. Tapi kita minta pemerintah perlu memperjelas rumusan sertifikasi itu apa, misalnya supaya dianggap jangan ada khatib radikal. Yang dimaksud radikal itu apa,” kata Wakil Ketua MPU Aceh Teungku Faisal Ali kepada wartawan, Rabu (9/9/2020).
Faisal meminta pemerintah memperjelas definisi serta maksud dalam sertifikasi. Dia mencontohkan sertifikasi dibuat agar jangan ada dai yang dicap radikal dan intoleran.
“Radikalisme ini apa maksudnya jangan nanti, begini jangan ada orang kritik pemerintah sudah dibilang radikal. Makanya kita menuntut pemerintah memperjelas sejelas-jelasnya, yaitu nilai yang terkandung dalam disertifikasi itu,” ujar Faisal.
Menurutnya, ulama Aceh bakal bersikap setelah ada penjelasan dari pemerintah. Sejauh ini, ulama Tanah Rencong belum mensertifikasi pencerahan.
“Tapi kita imbau dai agar dalam ceramahnya bisa mendatangkan kesejukan di tengah masyarakat, dai kita harap menjadi pemersatu. Tidak suka mengkafirkan orang, jangan suka membid’ahkan orang. Itu yang kita larang di Aceh,” jelasnya.
Sebelumnya, program penceramah bersertifikat yang digagas Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi memicu badai kritik. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak program tersebut lantaran berpotensi menjadi alat untuk mengontrol kehidupan beragama.
“Rencana sertifikasi Da’i/Muballigh dan/atau program Da’i/Muballigh bersertifikat sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Agama telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman dan kekhawatiran akan adanya intervensi Pemerintah pada aspek keagamaan yang dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengontrol kehidupan keagamaan. Oleh karena itu MUI menolak rencana program tersebut,” demikian salah satu bunyi pernyataan sikap MUI seperti dilihat detikcom, Rabu (9/9).
Kemenag sendiri menegaskan program penceramah bersertifikat bukan sertifikasi profesi seperti dosen dan guru. Program ini dibuat untuk meningkatkan kapasitas penceramah.
“Penceramah bersertifikat ini bukan sertifikasi profesi seperti sertifikasi dosen dan guru. Kalau guru dan dosen itu sertifikasi profesi, sehingga jika mereka sudah tersertifikasi, maka harus dibayar sesuai standar yang ditetapkan,” kata Dirjen Bimas Islam Kemenag Kamaruddin Amin dalam keterangan tertulis di situs Kemenag, Senin (7/9).
“Kalau penceramah bersertifikat, ini sebenarnya kegiatan biasa saja untuk meningkatkan kapasitas penceramah. Setelah mengikuti kegiatan, diberi sertifikat,” sambung Kamaruddin.
Kamaruddin mengatakan penceramah bersertifikat sama halnya dengan program peningkatan kapasitas penyuluh agama dan penghulu yang dilakukan Dirjen Bimas Islam. Untuk diketahui, saat ini ada sekitar 50 ribu penyuluh dan 10 ribu penghulu di Indonesia. Kapasitas mereka di bidang literasi tentang zakat, wakaf, dan moderasi beragama ditingkatkan demi mengoptimalkan layanan. Setelah mengikuti kegiatan itu, mereka akan mendapatkan sertifikat.
“Jadi ini sertifikasi biasa yang tidak berkonsekuensi apa-apa. Jadi bukan sertifikasi profesi sehingga ini tidak berkonsekuensi wajib atau tidak. Bukan berarti yang tidak bersertifikat tidak boleh berceramah atau yang boleh berceramah hanya yang bersertifikat. Sama sekali tidak begitu,” ujar Kamaruddin.