“Defisit.”
“Anggaran tidak ada. Aceh Utara sudah berapa tahun defisit,” kata Cekmad, Jumat, 2 Februari 2021 lalu.
Pengakuan jujur ini menggambarkan kondisi kabupaten Aceh Utara yang sedang dalam kondisi tak baik-baik saja.
Padahal, Aceh Utara sebenarnya bukanlah kabupaten baru di Aceh.
Alkisah, Ibukota kabupaten ini dipindahkan dari Lhokseumawe ke Lhoksukon, menyusul dijadikannya Lhokseumawe sebagai kota otonom.
Kabupaten ini pernah tergolong sebagai kawasan industri terbesar di provinsi ini dan juga tergolong industri terbesar di luar pulau Jawa, khususnya dengan dibukanya industri pengolahan gas alam cair PT. Arun LNG di Lhokseumawe pada tahun 1974.
Di daerah wilayah ini juga terdapat pabrik-pabrik besar lainnya, seperti Pabrik Kertas Kraft Aceh, pabrik Pupuk AAF (Aceh Asean Fertilizer) dan pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM).
Dalam sektor pertanian, daerah ini mempunyai unggulan reputasi sendiri sebagai penghasil beras yang sangat penting.
Maka secara keseluruhan Kabupaten Aceh Utara merupakan daerah Tingkat II yang paling potensial di provinsi dan pendapatan per kapita di atas paras Rp. 1,4 juta tanpa migas atau Rp. 6 juta dengan Migas, tapi itu dulu.
Dulu, kegiatan ekonomi Kabupaten Aceh Utara didominasi oleh dua sektor, yaitu sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan. Pada sektor pertambangan, sumur-sumur gas yang diolah PT. Exxon Mobil Oil Indonesia tentu menjadi salah satu faktur keunggulan sektor ini. Dengan kontribusi Rp 8,6 triliun Pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2000, ia menempati peringkat pertama dengan disusul oleh sektor industri sebesar Rp 4,7 triliun.
Ya, tapi lagi-lagi kondisi tadi adalah cerita Aceh Utara di masa lalu.
Gas di Aceh Utara kini hampir habis. Pabrik PIM juga dalam kondisi kritis serta sering berhenti operasi akibat pasokan gas terganggu.
Demikian juga soal jargon Aceh Utara sebagai lumbung padi yang kini luntur akibat banjir yang terus berulang setiap tahunnya. Banjir mengakibatkan sawah-sawah di Aceh Utara menjadi gagal panen. Warga meminta solusi tapi tak kunjung hadir.
Selain tak ada solusi juga minim terobosan.
Cekmad, sapaan akrab bupati Muhammad Thaib, pernah menjadi staf ahli semasa bupati Ilyas Pase. Itu periode awal usai Aceh damai.
Cekmad kemudian dicalonkan sebagai kandidat bupati dan terpilih serta memerintah di Aceh Utara sejak 5 Juli 2012.
Periode awal ini sempat menuai kritikan dari berbagai pihak tapi kemudian dijagokan dalam pilkada 2017 dengan alasan perjuangan.
Sebagai daerah bekas konflik, Cekmad kemudian terpilih dan dilantik sebagai bupati periode kedua pada 12 Juli 2017 hingga sekarang. Namun sayangnya, hingga dua periode pemerintahan Cekmad di Aceh Utara, tak ada terobosan yang berarti.
Minim prestasi dan terobosan.
Gas habis dan banjir terus berulang di berbagai kecamatan di Aceh Utara. Padahal gas dan lumbung pagi merupakan urat nadi ekonomi masyarakat selama ini.
Banyak perusahaan tutup. Kondisi PIM juga kritis.
Sebanyak 4.200 lebih tenaga honorer di kabupaten Aceh Utara dilaporkan juga hanya akan menerima upah kerja selama tujuh bulan untuk 2022. Kasus yang sama juga dialami perangkat desa di kabupaten ‘bekas’ lumbung gas itu.
Sejumlah warga di Matangkuli juga dilaporkan meminta surat pindah karena tak tahan dengan banjir yang terus berulang di daerah itu.
“Tak tahan bang. Setahun bisa 3 hingga 4 kali kebanjiran. Kemarin baru selesai dibersihkan (rumah-red), eh…beberapa hari kemudian sudah banjir lagi,” kata Zakir, warga Matangkuli.
Ini belum lagi harta benda serta nyawa warga yang menjadi taruhannya saat musibah banjir datang dan berulang.
Setelah semua persoalan tadi, sebagaimana yang perlu diketahui, masa jabatan Cekmad akan berakhir pada Juli mendatang. Ya, Juli nanti, Cekmad akan mengakhiri 10 tahun meminpin Aceh Utara.
Dikutip dari situs e-LHKPN, Cekmad melaporkan harta kekayaan yang dimilikinya di awal-awal menjabat atau per 22 Januari 2012 senilai Rp1,348 miliar. Kemudian pada akhir periode pertama atau 17 September 2016, harta yang dilaporkan Cekmad menjadi Rp3,434 miliar.
Pada 31 Desember 2017, harta yang dilaporkan Cekmad menjadi Rp3,55 miliar. Sedangkan pada 31 Desember 2018 menjadi Rp3,701 miliar. Pada 31 Desember 2019 menjadi Rp4,645 miliar dan laporan per 31 Desember 2020, harta kekayaan Cekmad, menjadi Rp5,390 miliar.