Banda Aceh – Pusat Perubahan Iklim USK bersama Program Empower II UNWomen membuat diskusi publik yang mengangkat tema “Kebijakan Responsif Gender dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan Transisi Energi”, di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh,Selasa, 11 Februari 2025.
Kegiatan tersebut mengundang berbagai pemangku kepentingan untuk membahas pentingnya kebijakan inklusif yang memperhatikan kesetaraan gender, khususnya dalam menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin mendalam di Aceh.
Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Kepala LPPM USK, yang diwakili Dr. Sulastri, Wakil Kepala Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat, yang menyampaikan refleksi terkait peran perempuan yang sering terabaikan dalam kebijakan perubahan iklim.
Dalam sambutannya, Dr. Sulastri menyoroti pentingnya peran perempuan di Aceh, mulai dari nelayan hutan bakau hingga perempuan yang mengelola hutan tropis, yang menunjukkan bahwa meskipun perempuan sering dianggap lemah, mereka memiliki kontribusi yang luar biasa dalam mitigasi perubahan iklim.
Pada sesi awal, Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), Chandra Sugarda, mengungkapkan pentingnya kebijakan responsif gender dalam mendukung keberlanjutan perubahan iklim.
Chandra menekankan bahwa kebijakan perubahan iklim yang melibatkan perempuan secara aktif adalah langkah strategis untuk mempercepat adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Ia juga mengusulkan Transfer Anggaran Berbasis Ekologi yang responsif gender sebagai solusi untuk memberikan perempuan akses lebih baik terhadap pendanaan iklim.
Akademisi USK dan Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim USK, Suraiya Kamaruzzaman, menyoroti ketidakadilan gender yang sudah ada jauh sebelum krisis iklim, yang semakin terasa dalam dampak perubahan iklim.
Suraiya menyarankan agar kebijakan perubahan iklim berbasis gender diterjemahkan dalam implementasi nyata, serta menyampaikan contoh positif di Desa Prada, di mana perempuan berperan penting dalam ketahanan pangan.
Perwakilan Pemerintah Aceh, M. Daud, Plh. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, menegaskan bahwa dampak perubahan iklim di Aceh semakin terasa, dengan kebakaran hutan, sektor transportasi, dan pertanian yang menyumbang emisi tinggi.
M. Daud menyampaikan pentingnya sinergi lintas sektor untuk menciptakan solusi yang melibatkan semua pihak, dari pemerintah hingga masyarakat.
Dalam sesi kick-off meeting, Iriantoni Almuna dari UN Women memperkenalkan proyek Empower II yang bertujuan memperkuat peran perempuan dalam kebijakan perubahan iklim melalui pemberdayaan ekonomi dan akses pendidikan serta pelatihan perubahan iklim.
Iriantoni menekankan bahwa keberhasilan proyek ini sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, organisasi internasional, dan masyarakat lokal.
Pelaksana program dari ACCI USK, Irfan Zikri, menggarisbawahi pentingnya pengembangan baseline data yang akan menjadi landasan kebijakan responsif gender.
“Data yang akurat akan membantu kita memahami kondisi yang sebenarnya di lapangan dan memastikan kebijakan memenuhi kebutuhan perempuan yang terdampak perubahan iklim,” jelas Irfan.
Diskusi publik ini menghasilkan ide-ide konkret untuk memastikan kebijakan perubahan iklim tidak hanya inklusif, tetapi juga berkelanjutan dalam jangka panjang. Sebagai penutup, acara ini mengukuhkan komitmen bersama untuk berkolaborasi, membangun sinergi, dan mengintegrasikan perspektif gender dalam setiap langkah kebijakan perubahan iklim di Aceh.