Oleh: Dr. Erizar, M.Ed (Dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh)
Setelah sebulan penuh menjalani puasa Ramadhan, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri sebagai simbol kemenangan. Namun, pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama: apakah perayaan Idul Fitri yang kita lakukan selama ini benar-benar mencerminkan makna sejatinya sebagai momen kembali ke fitrah, atau hanya terjebak dalam euforia seremonial semata?
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ”
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Ayat ini menegaskan bahwa setelah menunaikan ibadah puasa, kita diperintahkan untuk mengagungkan Allah dan bersyukur atas petunjuk-Nya. Idul Fitri bukan sekadar momen berakhirnya puasa, melainkan puncak dari proses penyucian diri dan kembali kepada fitrah manusia yang suci.
Rasulullah SAW bersabda tentang hakikat Idul Fitri:
“مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْعِيدِ مُحْتَسِبًا لِلَّهِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ”
“Barangsiapa yang menghidupkan malam Hari Raya dengan beribadah karena mengharap pahala dari Allah, maka hatinya tidak akan mati pada hari ketika hati-hati menjadi mati.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa esensi Idul Fitri bukan pada perayaan lahiriahnya, melainkan pada makna spiritual yang menghidupkan hati. Sayangnya, fenomena yang sering kita saksikan justru menunjukkan hal yang berbeda.
Refleksi Kritik: Euforia yang Menjauhkan dari Fitrah
Fenomena yang banyak terjadi saat ini adalah pergeseran makna Idul Fitri menjadi sekadar momentum konsumtif, pamer status sosial, dan ritual tahunan tanpa makna mendalam. Idul Fitri seolah telah berubah menjadi “festival belanja” dengan indikator kebahagiaan yang diukur dari pakaian baru, menu hidangan mewah, dan besaran “angpau” (uang) yang dibagikan.
Nabi Muhammad SAW memperingatkan kita:
“إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ”
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Jika kita jujur mengevaluasi diri, seberapa banyak dari kita yang benar-benar merayakan Idul Fitri sebagai momentum kembali ke fitrah? Seberapa dalam kita merenungi perubahan spiritual yang telah kita capai selama Ramadhan? Atau justru kita sibuk dengan persiapan lahiriah dan melupakan esensi terdalam dari hari kemenangan ini?
Kembali ke Fitrah: Makna Sejati Idul Fitri
Kata “fitri” dalam Idul Fitri berasal dari kata “fitrah” yang berarti kesucian, kealamiahan, dan keadaan manusia yang kembali pada kondisi aslinya yang suci. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ”
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini mengingatkan kita bahwa fitrah adalah keadaan asal manusia yang cenderung pada kebaikan dan ketauhidan. Idul Fitri seharusnya menjadi momentum untuk kembali pada kondisi fitrah ini setelah proses penyucian diri selama Ramadhan.
Allah SWT juga berfirman:
“فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ”
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)
Mengembalikan Esensi Idul Fitri
Lantas, bagaimana kita bisa mengembalikan esensi Idul Fitri sebagai momen kembali ke fitrah, bukan sekadar euforia?
Memaknai Takbir dengan Kesadaran Spiritual
Takbir yang berkumandang di malam dan pagi Idul Fitri seharusnya bukan sekadar ritual suara, melainkan pengakuan akan kebesaran Allah yang telah memberikan kekuatan kepada kita untuk menyelesaikan ibadah puasa dan proses penyucian diri.
Rasulullah SAW bersabda:
“زَيِّنُوا أَعْيَادَكُمْ بِالتَّكْبِيرِ”
“Hiasilah hari raya kalian dengan takbir.” (HR. Thabrani)
Menjadikan Silaturahmi sebagai Sarana Perbaikan Hubungan
Silaturahmi di hari Idul Fitri seharusnya bukan sekadar kunjungan formal, melainkan momentum untuk saling memaafkan dengan tulus dan memperbaiki hubungan yang retak.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari)
Berbagi dengan Tulus kepada yang Membutuhkan
Membagikan zakat fitrah dan sedekah di hari Idul Fitri seharusnya dilakukan dengan ketulusan, bukan untuk pamer atau sekadar menggugurkan kewajiban.
Allah SWT berfirman:
“قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ، وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ”
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan berzakat) dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” (QS. Al-A’la: 14-15)
Merenungkan Perubahan Diri Pasca Ramadhan
Idul Fitri adalah saat yang tepat untuk merenungkan sejauh mana Ramadhan telah mengubah diri kita menjadi pribadi yang lebih baik dan bagaimana kita dapat mempertahankan perubahan positif tersebut.
Rasulullah SAW bersabda:
“الصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ، إِنِّي صَائِمٌ”
“Puasa adalah perisai. Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan bersikap bodoh. Jika ada orang yang memerangi atau mencacinya, maka hendaklah ia berkata: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa.'” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan
Idul Fitri yang sejati bukan diukur dari kemeriahan perayaan, tetapi dari sejauh mana kita telah kembali kepada fitrah kita sebagai manusia. Ketika kita berhasil menaklukkan hawa nafsu selama Ramadhan, meningkatkan ketakwaan, membersihkan hati dari sifat-sifat buruk, dan menjalin hubungan yang lebih baik dengan Allah dan sesama manusia, itulah kemenangan sejati yang patut dirayakan.
Mari kita jadikan Idul Fitri bukan sekadar euforia sesaat, tetapi sebagai momentum untuk kembali ke fitrah dan mempertahankan perubahan positif yang telah kita capai selama Ramadhan. Dengan demikian, kita dapat merasakan makna sejati dari “Idul Fitri” sebagai hari kembalinya manusia kepada kesucian dan kemuliaan dirinya.
“تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ”