Oleh Ahmad Yani. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Prodi Pengembangan Masyarakat islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Dalam kehidupan bermasyarakat, norma sosial berfungsi sebagai panduan sikap, perilaku, dan interaksi antarindividu. Ia menjadi semacam “lem sosial” yang menyatukan perbedaan dan menjaga harmoni. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan perubahan yang signifikan dalam pola perilaku masyarakat. Norma-norma yang dahulu dijunjung tinggi, kini mulai tergerus oleh arus zaman. Pertanyaannya: siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas pergeseran ini?
Fenomena Pergeseran Norma
Pergeseran norma sosial dapat dilihat dari berbagai fenomena nyata. Misalnya, menurunnya rasa hormat terhadap orang yang lebih tua, berkurangnya budaya gotong royong di lingkungan tempat tinggal, atau meningkatnya ujaran kebencian di ruang publik dan media sosial. Dulu, masyarakat menjunjung tinggi nilai sopan santun dan solidaritas. Kini, nilai-nilai tersebut sering kali dikalahkan oleh individualisme, kepentingan pribadi, atau bahkan pengaruh budaya luar yang tidak selalu sejalan dengan nilai luhur bangsa.
Transformasi ini tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Globalisasi, kemajuan teknologi informasi, serta pergeseran pola asuh dalam keluarga menjadi faktor utama yang mendorong perubahan nilai di tengah masyarakat. Media sosial, sebagai contoh, telah menjadi ruang baru yang membentuk persepsi dan perilaku sosial. Sayangnya, tidak semua informasi yang tersebar di dunia digital mengandung nilai edukatif atau membangun.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab atas fenomena ini bukanlah perkara sederhana. Namun demikian, ada sejumlah aktor kunci yang memiliki peran penting dalam membentuk dan menjaga norma sosial.
Pertama, keluarga merupakan institusi primer yang memainkan peran vital dalam menanamkan nilai-nilai moral dan sosial kepada anak sejak dini. Ketika peran ini diabaikan—baik karena kesibukan orang tua, kurangnya komunikasi, maupun pola asuh yang permisif—anak tumbuh tanpa fondasi etika yang kuat.
Kedua, lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab untuk memperkuat nilai-nilai sosial melalui proses pembelajaran yang tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga afektif. Pendidikan karakter yang selama ini digaungkan perlu diimplementasikan secara konsisten, bukan sekadar slogan.
Ketiga, media massa dan media sosial turut berperan dalam membentuk opini dan sikap publik. Ketika media lebih memilih mengejar sensasionalisme ketimbang edukasi, maka masyarakat akan terpapar konten-konten yang justru memperlemah norma sosial.
Keempat, pemerintah dan tokoh masyarakat memiliki kewajiban moral untuk menjadi teladan. Sayangnya, keteladanan ini sering kali pudar akibat praktik korupsi, intoleransi, dan retorika politik yang justru menimbulkan perpecahan.
Namun yang tidak kalah penting, masyarakat itu sendiri—kita semua—memiliki tanggung jawab kolektif untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai yang menjadi perekat kehidupan bersama. Ketika masyarakat membiarkan pelanggaran norma tanpa koreksi, maka pergeseran nilai akan terus melaju tanpa kendali.
Refleksi dan Harapan
Norma sosial bukan sekadar aturan tidak tertulis, melainkan cerminan dari jati diri suatu bangsa. Jika kita ingin menjaga harmoni dalam kehidupan sosial, maka kesadaran akan pentingnya norma harus terus ditumbuhkan, dimulai dari diri sendiri, keluarga, hingga institusi negara.
Perubahan zaman memang tak terelakkan, namun bukan berarti nilai luhur harus dikorbankan. Kita perlu menyeimbangkan modernitas dengan kearifan lokal, serta menyelaraskan kemajuan dengan kepekaan sosial. Tanggung jawab ini adalah milik bersama. Dan jika kita semua memilih untuk diam, maka kita pun turut berkontribusi dalam runtuhnya tatanan sosial itu sendiri. []