BANDA ACEH – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh mengajak Pemerintah Pusat untuk saling percaya dan benar-benar komit menjalankan amanat perdamaian Aceh sebagai yang tertuang dalam perjanjian atau MoU di Helsinki antara GAM dan RI.
Hal ini disampaikan Ketua DPR Aceh, Teungku Muhammad Sulaiman, atau akrab disapa Teungku Tunong, dalam pidatonya di acara peringatan 14 tahun perdamaian Aceh, di Taman Ratu Safiatuddin, Kota Banda Aceh, 15 Agustus 2019.
“Komitmen yang tidak kalah penting antara RI dan GAM, adalah bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Ini tentu bukan sesuatu yang dapat diperoleh seketika dan gampang. Diperlukan akal budi yang tinggi sehingga di suatu titik nanti akan menjadi rasa saling percaya permanen dan berkelanjutan,” ujar Teungku Tunong.
Menurutnya, membangun rasa percaya membutuhkan keikhlasan dan kemampuan untuk memahami karakter dan keinginan dari pihak lainnya.
“Perdamaian bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan dalam waktu sekali jadi, artinya rasa percaya harus terus dipupuk dengan kejujuran,” kata Sulaiman.
Selama 14 tahun, katanya, GAM telah mematuhi setiap butir MoU yang telah disepakati, seperti penghancuran semua senjata, amunisi serta alat peledak, demobilisasi pasukan, pembentukan partai lokal, serta terlibat dalam proses demokrasi.
Demikian juga dengan RI sejak 15 Agustus 2005 lalu, telah memberi amnesi, penarikan pasukan non organik, pembentukan UUPA, dan dana reintegrasi sejak 2006 hingga 2012 lalu.
“Semua ini membuktikan tidak ada pertentangan dan tidak terlihat potensi yang akan membawa kedua belah pihak untuk saling berhadapan di masa depan. Disebabkan itu, maka akan sangat aneh dan mengherankan jika ada sebuah pendapat yang menyebutkan bahwa partai politik lokal, khususnya Partai Aceh, berpotensi merongrong NKRI,” kata Teungku Tunong yang merupakan mantan petinggi GAM di wilayah Pase semasa Aceh masih berkonflik ini.
“Pendapat ini, mungkin disampaikan oleh pihak yang anti damai Aceh sejak awalnya, sekaligus penikmat konflik Aceh. Tujuan mendapatkan ekonomi serta muatan dimensi kekuasan pribadi dan kelompok. Ini harus diwaspadai bersama,” ujarnya lagi.
DPR Aceh, kata Sulaiman, mendorong kedua belah pihak, RI dan GAM, untuk tetap melanjutkan komitmen yang masih tertinggal.
“Baik penyempurnaan UUPA sebagai regulasi hokum, maupun komitmen lainnya seperti reintegrasi dan pendanaan yang selama ini masih relative kecil. Dimana dalam MoU, disebut jelas bahwa ini tanggungjawab Pemerintah Pusat,” ujarnya lagi. []