PEMILU serentak mengingatkan bahwa demokrasi di Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah. Masalah bisa ditemukan dalam perkara teknis pelaksanaan pemilu yang banyak memakan korban jiwa, sampai dengan perkara etis kandidat presiden yang mengklaim kemenangan sepihak untuk mendelegitimasi pemilu.
Klientelisme dalam politik electoral adalah persoalan yang tidak kalah penting namun jarang mendapat perhatian publik. Salah satu bentuk fenomena klientelisme politik yang popular di masyarakat adalah ‘politik uang’.
Praktik politik uang dalam kegiatan pemilihan telah banyak diamati dan dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Adalah fenomena lazim ketika kandidat eksekutif dan legislatif menawarkan uang pada calon pemilih menjelang hari pencoblosan. Mereka juga cermat memetakan daerah-daerah mana yang jadi basis pendukungnya. Jika terpilih, daerah-daerah tersebut akan mendapatkan prioritas program-program pembangunan. Oleh karenanya, beberapa bulan sebelum pemiliha, para tokoh lokal akan sibuk menjadi broker untuk mendata dukungan yang bisa mereka tawarkan pada para kandidat eksekutif maupun legislatif.
Pada saat bersamaan, sejumlah pebisnis sudah menyiapkan uang untuk modal kampanye para kandidat. Mereka berharap mendapatkan proyek setelah kandidat yang mereka dukung menang. Praktik-praktik ini adalah bagian dari klientelisme politik, yang secara sederhana bisa didefinisikan sebagai fenomena dimana modal ataupun dukungan suara diberikan pada politikus sebagai bentuk pertukaran dengan keuntungan langsung.
Politik uang dalam politik elektoral di Indonesia bukan cuma gosip warung kopi. Beberapa bulan menjelang pemilihan serentak kali ini saja, sudah ada beberapa nama yang tertangkap karena diduga melakukan praktik tersebut. Bowo Sidik dari Golkar baru tertangkap tangan oleh KPK dengan sejumlah amplop pecahan lima puluh ribu dengan nilai total mencapai delapan miliar. Di Nias, caleg Gerindra juga ditangkap KPK karena diduga siap menggelontorkan uang pada sejumlah pemilih di dapilnya. Penangkapan kedua tokoh ini menambah daftar panjang para politikus yang dicokok karena kasus serupa.
Persoalannya, bahkan dengan penangkapan-penangkapan tersebut, kasus yang terungkap masih jauh dari gambaran untuh praktik klientelisme elektoral di Indonesia. Burhanuddin Muhtadi dalam disertasinya Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal Network, and Winning Margins (2018), menyebutkan ada sekitar 47 sampai dengan 62 juta pemilih di Indonesia yang mendapatkan tawaran untuk menjual suaranya pada pemilihan legislatif tahun 2014. Angka tersebut dalam menempatkan Indonesia di peringkat tiga negara-negara yang mempraktikkan jual beli suara setelah Uganda dan Benin.
Penyebab Maraknya Politik Uang
Ada banyak alasan untuk menjelaskan kuatnya fenomena politik uang dan klientelisme elektoral di Indonesia. Salah satu yang paling kerap dikemukakan adalah politik massa mengambang milik Orde Baru.
Atas nama stabilitas politik, masa kepemimpinan Soeharto melepaskan partai-partai dari ikatannya dengan pemilih di akar rumput. Implikasinya, partai sulit mempertahankan corak politik yang bersifat ideologis sehingga harus mengandalkan figure lokal untuk mendulang suara pemilih. Pilihan ini jadi pisau bermata ganda. Sebab, meskipun menjamin keberlangsungan suara partai, namun model ini malah menjauhkan para pemilih untuk terasosiasi dengan partai. Dalam studi yang sama, Muhtadi menunjukkan bahwa ketertarikan para pemilih turun dari 86% jadi 15% sejak pemilu 1999 sampai 2014.
Seiring penguatan figure dalam partai politik, corak antar partai juga semakin sulit untuk dibedakan. Gerindra dan Hanura, misalnya, tidak terlihat berbeda jauh dengan Golkar. Partai seperti Nasdem juga menampilkan corak partai yang sama dengan Demokrat. Sebagian besar partai memiliki persoalan yang sama. Mereka hanya dapat dibedakan dari sosok-sosok pemimpinnya.
Pola tersebut telah menjadi cara yang diterima oleh semua pihak yang terlibat dalam aktivitas politik. Partai-partai amat mengandalkan figure untuk memperoleh suara pemilih. Para kandidat legislatif maupun eksekutif juga merasa lebih mudah mengedepankan figur alih-alih mendorong program pembangunan yang konkret. Para pemilih pun merasa lebih mudah mengambil manfaat langsung berupa uang atau hadiah dari kandidat daripada berharap pada kebijakan.
Selain itu, maraknya praktik politik uang juga secara tidak langsung disebabkan oleh ‘electoral competitiveness’ yang sangat tinggi dalam desain proporsional terbuka dalam pemilu legislatif yang memungkinkan pemilih mencoblos langsung nama figure calon legislatif dari masing-masing partai yang berlaga. Walhasil, para caleg dari partai yang berbeda, namun juga dengan sesama caleg dari partai yang sama. Menurut Muhtadi, dalam konteks ini politik uang menjadi amat krusial karena dapat menjadi factor penentu dalam ketatnya persaingan untuk memenangkan pemilu.
Klientelisme dalam bentuk politik uang kemudian menjadi lingkaran setan yang sulit diputus. Meskipun demikian, jalan bagi perbaikan demokrasi bukannya nihil sama sekali. Kemungkinan perubahan dapat terlihat jika praktik klientelisme di Indonesia tidak dilihat secara monolitik. Kajian Ward Berenshot dan Edward Aspinall dalam Democracy for Sale: Pemilihan, Klientelisme dan Negara di Indonesia (2019), menunjukkan kenyataan penting: bobot klientelisme politik berbeda di tiap daerah di Indonesia.
Klientelisme Politik di Berbagai Daerah
Dalam diskusi yang lebih luas soal politik uang dan klientelisme politik, Berenshot dan Aspinall berangkat dari dugaan bahwa tiap daerah di Indonesia memiliki kekhususan dalam menjalankan praktik klientelisme. Oleh karenanya, mereka membangun instrument untuk mengukur kekuatan pengaruh klientelisme di berbagai daerah. Intrumen pengukuran tersebut mereka beri nama sebagai Indeks Persepsi Klientelisme (IPK). Indeks tersebut dibentuk dalam skala 1 sampai dengan 10. Angka terendah menunjukkan bahwa daerah yang bersangkutan hampir tidak memiliki praktik klientelisme. Sebaliknya, anga 10 menunjukkan bahwa corak politik daerah tersebut sepenuhnya didominasi klientelisme.
Pada praktiknya, tidak ada daerah yang betul-betul bebas dari klientelisme politik seperti juga tidak ada daerah yang sepenuhnya didominasi praktik tersebut. Kota Surabaya, misalnya, memiliki skor yang terendah dengan angka 3,97, sementara Kota Kupang dengan angka 7,95 menempati skor tertinggi diantara kabupaten/kota yang menjadi focus kajian. Pada lingkup yang lebih besar, Barenshot dan Aspinall juga menemukan bahwa praktik-praktik klientelisme lebih banyak terjadi di luar Jawa, khususnya Kalimantan dan wilayah Indonesia Timur.
Apa yang menjelaskan ketimpangan yang terjadi di wilayah dengan skor rendah dan wilayah lain yang skornya tinggi? Kedua peneliti beragumen bahwa jawabannya terletak pada sumber daya ekonomi di satu daerah. Pada wilayah yang sumber daya ekonominya berasal dari sedikit sector yang dikuasai pemerintah, besar kemungkinan praktik klientelisme cenderung rendah di daerah yang punya lebih banyak ragam sektor pertanian.
Pada tipe wilayah yang pertama, warga negara sangat tergantung pada sektor pemerintahan sebagai sumber pendapatan. Oleh karena itu, mereka cenderung mengambil posisi agar penghidupan mereka aman dengan mendukung pemerintahan yang berkuasa. Keadaan serupa juga dialami oleh lembaga yang seharusnya berperan menjaga akuntabilitas legislatif maupun eksekutif seperti pers dan organisasi non-pemerintah. Mereka juga amat bergantung dari sumber daya pemerintah dalam menjaga keberlangsungan organisasi mereka, sehingga kedua lembaga tersebut juga jarang mengambil resiko mengkritik pemerintah. Kritik terhadap politisi petahana baru mungkin terjadi jika para pemilih mendukung kandidat penantang yang juga menjanjikan relasi klientelistik serupa ketika mereka berkuasa.
Kondisi berbeda terjadi pada wilayah dengan beragam sektor ekonomi seperti Surabaya. Kelompok masyarakat sipil, pers, dan juga warga negara punya banyak alternatif maka pencaharian diluar sumber daya yang dikelola oleh negara. Situasi tersebut membuat mereka bisa lebih independen dalam memberikan dukungan pada kandidat legislatif ataupun eksekutif. Daerah-daerah seperti ini, dalam argument Ward dan Aspinall, juga jadi lebih memiliki peluang untuk menghadirkan figure-figur alternative yang relative bebas dari praktik klientelisme seperti dalam kasus kemunculan Risma, Jokowi, ataupun Ridhwan Kamil.
Selanjutnya Apa?
Jika sudah diketahui bahwa praktik klientelisme Indonesia bersifat asimetris atau variatif, selanjutnya apa?
Kedua cendekia memang tidak mengajukan jawaban yang lugas terhadap persoalan ini, karena isu ini memang amat kompleks. Namun, jika kami boleh sedikit berandai-andai, langkah perubahan kemungkinan dapat dirintis dari dua aspek. Pertama, perlunya penguatan institusi partai. Solusi ini sudah banyak dikemukakan cendekia Indonesia, namun tetap penting untuk dikemukakan ulang.
Penguatan partai penting untuk menggantikan pengedepanan individu yang jadi salah satu faktor penting di balik klientelisme politik di Indonesia. Selain itu, penguatan partai juga berarti mendorong partai untuk berbenah merumuskan program yang lebih ideologis. Jika hal ini bisa dicapai, seandainya pun partai masih mengedepankan figure, sedikitnya mereka bisa lebih memilih tokoh yang siap merepresentasikan gagasan ideologis partai.
Aspek kedua yang perlu diperhatikan dalam upaya meredam klientelisme politik adalah pengembangan ragam sektor ekonomi oleh pemerintah pusat, khususnya pada wilayah-wilayah dengan praktik klientelisme tertinggi. Dengan menjami ragam sektor ekonomi yang lebih luas, baik pemilih maupun kandidat yang akan dipilih dapat lebih memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam pemilihan dengan mengandalkan model politik alternative.
Kedua kemungkinan ini tentu saja bukan obat untuk segala penyakit, namun sedikitnya dapat memelihara asa menuju demokrasi tanpa politik uang di dalamnya.
Penulis, Yogi Setya Permana, peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI dan peminat kajian contentious politics pada negara-negara demokrasi baru.
Opini ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi atjehwatch.com