TAK banyak orang yang tahu bahwa sentral telepon pertama di Indonesia ternyata berawal dari Aceh. Telepon ini dibangun oleh Belanda pada 1903 masehi atau usai menguasai kerajaan Aceh.
Fasilitas ini dibangun untuk memudahkan komunikasi para perwira Belanda. Keberadaan telepon ini untuk menggantikan peran telegraf.
Dikutip dari okezone.com, jaringan telepon pertama di Indonesia dan milik militer Belanda ini, tembus ke berbagai daerah sasaran pengerahan pasukan Belanda. Mulai dari Ulee Lheu, Sabang, Lamno, Meulaboh, Seulimum, Sigli, Bireun, Takengon, Lhokseumawe, Lhoksukon, Idi, Peurlak, Kuala Simpang hingga beberapa kota di Sumatera Utara seperti Medan, Tanjung Pura, Rantau Prapat, Berastagi dan Asahan.
Dalam lembaran Telefoogids complex Koetaradja atau buku petunjuk telepon yang diterbitkan Belanda pada 20 April 1933, disebutkan, tarif percakapan telepon antar kota dihitung berdasarkan tiga menit percakapan.
Sentral telepon ini sangat membantu Gubernur Militer Hindia Belanda dalam berkomunikasi dan menghadapi serangan pasukan Aceh di berbagai daerah kala itu.
Dalam buku Banda Aceh Heritage; Jalur Jejak Budaya dan Tsunami, Kamal A. Arif dan Salmawaty menulis, “Adakalanya gubernur mencabut kabel telepon karena seringnya mendapat kabar serangan dari pejuang Aceh terhadap pasukannya di lapangan.”
Setelah Belanda angkat kaki dari Aceh, Jepang kemudian masuk dan memanfaatkan sentral telepon ini sebagai sarana komunikasinya.
Selepas Indonesia merdeka, bangunan ini juga tak terlantar karena sempat dijadikan kantor telepon Kodam I Iskandar Muda.
Pernah juga dimanfaatkan sebagai kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Aceh, kemudian kantor redaksi surat kabar Atjeh Post, sebelum dijadikan Kantor PSSI Aceh.
Gedung bekas sentra telepon Belanda ini sekarang menjadi situs cagar budaya di Banda Aceh. Di bawah pengawasan langsung Balai Pelestarian Cagar Budaya.[]