PERSOALAN bendera Aceh seperti tak akan kunjung selesai. Apalagi jika kewenangan tentang indetitas, lambang dan hymne yang menjadi kekhususan Aceh tersebut, sesuai dengan kesepakatan damai antara RI dan GAM atau MoU Helsinki, dibenturkan dengan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Terbaru, kalimat itu keluar dari seorang DPR RI asal Aceh, Irmawan, saat berkunjung ke redaksi Serambi Indonesia, beberapa hari lalu. Usai beritanya yang membenturkan antara kesejahteraan dengan bendera menjadi viral, serta dihujat oleh warga, Irmawan buru-buru memberi klarifikasi.
Irmawan mengatakan bahwa kalimatnya diplintir media.
“Itu sangat tendensius. Saya maksudkan sebenarnya tidak ada relevansinya masalah bendera dengan komisi V di DPR yang mengurus soal perhubungan dan insfrastruktur,” kata Irmawan melalui WhatsApp yang diterima atjehwatch.com, Jumat malam.
Masalah bendera dan lambang–kata Irmawan itu berada di komisi lain, bukan komisi V.
“Saya faham masalah MoU Helsinki dan butir-butirnya, semua kita rakyat Aceh bekerja menuntaskan perintah MoU untuk kesejahteraan rakyat Aceh,” ujar Irmawan.
Redaksi Serambi Indonesia sendiri tak memuat soal sanggahan Irmawan yang membenturkan bendera dengan kesejahteraan. Artinya, media nomor satu di Aceh itu memiliki bukti kuat bahwa apa yang dimuatnya tersebut benar adanya.
Kalimat yang dikeluarkan oleh Irmawan sebenarnya bukan kalimat baru. Jauh sebelum Irmawan, kalimat serupa sudah diucapkan oleh belasan pejabat asal Aceh lainnya. Irwandi Yusuf pernah mengucapkan hal yang sama. Demikian juga dengan pejabat lainnya yang kini menduduki kursi empuk di DPD RI dan DPR RI.
Kondisi yang sama juga terjadi dengan mereka yang sudah menjadi bupati dan wali kota di Aceh.
Ironisnya, persoalan bendera Aceh tak kunjung terselesaikan. Ketika bendera Aceh gagal terselesaikan, tapi tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh juga gagal tumbuh. Aceh justru menjadi daerah termiskin di Sumatera. Artinya, harapan peningkatan kesejahteraan masyarakat ketika bendera diabaikan, juga tidak terjadi.
Ini membuktikan bahwa cara pejabat asal Aceh menutup kegagalan mereka dengan alasan sedang focus pada peningkatan kesejahteraan rakyat, hanyalah kamuflase belaka.
Pejabat Aceh tak benar-benar bekerja untuk kesejahteraan masyarakat Aceh. Buktinya, triliun dana Otsus yang mengalir ke Aceh tiap tahunnya, tapi tingkat kemiskinan kita justru terpuruk se-Sumatera.
Pejabat Aceh juga tak benar-benar bekerja memperjuangkan bendera Aceh seperti yang tercantum dalam MoU Helsinki. Buktinya, persoalan bendera tak pernah tuntas hingga tiga pemilu dan tiga pilkada berlangsung di Aceh.
Bendera dan kesejahteraan hanya jadi jualan saat kampanye belaka. Tetapi saat terpilih, mereka lupa dengan tugas dan janji mereka saat kampanye.
Peningkatan justru terjadi pada aset atau harta kekayaan yang dimiliki pejabat ini tiap tahunnya usai terpilih. Hal ini bisa dilihat dari pelaporan mereka di situs elhkpn.kpk.go.id. Meski tak semua harta dilaporkan di sana.
Para pejabat kita takut jika priuk nasi mereka pecah kalau memperjuangkan bendera Aceh. Makanya membenturkan bendera dengan kesejahteraan sebagai kamuflase kegagalan.
Seharusnya pejabat Aceh bisa jujur apa adanya. Mereka mengakui kegagalan memperjuangkan bendera sekaligus kesejahteraan bagi masyarakat Aceh. Mereka sedang mencari uang untuk membayar hutang kampanye sekaligus menumpuk harta untuk kampanye berikutnya.
“Saya baru menjabat. Hutang masih menumpuk. Maka jangan ganggu saya dengan bendera.”
Kalimat itu sejatinya lebih tepat diungkapkan para pejabat ini daripada mengolah rakyat demi alasan kesejahteraan.[]