PEMERINTAH Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah memiliki sejumlah program andalan di awal-awal pemerintahannya.
Ada 15 program unggulan yang diusung Pemerintah Aceh saat ini. Yang semuanya di awali dengan kata-kata Aceh. Kesannya mungkin agar terlihat keren. Sama halnya seperti slogan Jokowi, “Kerja, Kerja dan Kerja.”
15 Program unggulan tadi seperti Aceh Caròng untuk bidang pendidikan, Aceh Seujahtra yang focus pada JKA Plus, AcehSIAT yang focus pada Sistem Informasi Aceh Terpadu, Aceh Energi untuk pemenuhan energi listrik bagi rakyat Aceh dan industri yang berasal dari energi bersih-terbarukan.
Selanjutnya, Aceh Meugoë dan Meulaôt untuk pembangunan pertanian dan ekonomi maritim melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi serta penuntasan penyediaan irigasi yang dapat mengaliri seluruh lahan pertanian rakyatdan pencetakan sawah baru.
Kemudian ada program AcèhTroë yang focus pemenuhan bahan pangan dan gizi bagi seluruh rakyat Aceh secara mandiri melalui peningkatan produktifitas pertanian dan kemudahan akses terhadap bahan pangan, penertiban distribusi bibit, pupuk dan obat di bagi pertanian rakyat.
AcèhKreatif yang mendorong tumbuhnya industri sesuai dengan potensi sumberdaya daerah dan memproteksi produk yang dihasilkannya.
Kemudian AcèhKaya, AcèhPeumulia, AcèhDamê, AcèhMeuadab, Acèh Teuga, Acèh Green yang menegaskan kembali pembangunan Aceh berwawasan lingkungan dan berkelanjutanyang sensitif terhadap resiko bencana alam, AcèhSeuninya yang penyediaan perumahan bagi masyarakat miskin dan pasangan muda, serta AcèhSeumeugot yang memastikan tersedianya sarana dan prasarana (infrastruktur) secara cerdas dan berkelanjutan untuk mendukung pencapaian tujuan semua program unggulan terutama yang menjadi daya ungkit pembangunan ekonomi.
15 Program unggulan ini menjadi arah yang ingin dicapai pemerintahan sekarang. Tapi bagaimana realisasi 15 program tadi setelah dua tahun pemerintahan ini berjalan? Terealisasi atau hanya slogan semata.
Untuk mengawali tulisan, kita mulai dengan program Aceh Carong. Guna mencapai misi ini, pemerintahan yang sedang berjalan menunjuk Saridin sebagai Kepala Dinas Pendidikan Aceh. Sosok Saridin sendiri merupakan mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh.
Penempatan Saridin sendiri sempat menuai kritikan dari para pihak. Mayoritas menilai Saridin tak akan mampu menjalankan amanah tersebut. Karena memang level dan jumlah dana yang bakal dikelola akan jauh berbeda.
Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh di bawah kendali Saridin terbiasa mengelola anggaran puluhan miliar. Tetapi kemudian sosok itu dihadapkan dengan amanah mengelola anggaran pendidikan sebanyak 20 persen dari APBA, sesuai amanah undang-undang, yang jumlahnya mencapai ratusan miliar.
Kegagapan Saridin terlihat jelas di tahun pertama kepemimpinannya. Realisasi anggaran anjlok dibandingkan tahun sebelumnya.
Dinas Pendidikan yang seharusnya focus pada peningkatan mutu kembali berubah laksana dinas PU. Padahal di masa kepemimpinan Anas M. Adam, peningkatan mutu pendidikan sudah lebih terarah. Meskipun kualitas saing guru masih lebih rendah dibandingkan daerah lainnya.
Event Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) 2019 yang menempatkan Aceh sebagai tuan rumah langsung menguji kepemimpinan Saridin. Konon untuk event besar ini, Saridin dilaporkan diam-diam menarik dana BOS dari sekolah-sekolah di Banda Aceh untuk membayar penari yang jumlahnya ribuan. Para penarinya juga para siswa yang direkrut dari berbagai sekolah di Banda Aceh.
“Bayarannya tak sampai tiga ratusan ribu. Itu sudah termasuk uang makan untuk latihan selama beberapa Minggu. Para siswa sempat berdemo karena dikira sekolah yang menilep honor mereka,” ujar sumber atjehwatch.com.
Provinsi Aceh sendiri harus puas berada di peringkat 25 dari 34 provinsi yang berpartisipasi dalam Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) 2019.
Dikutip atjehwatch.com dari situs kemdikbud.go.id, dari 417 medali yang diperebutkan, Aceh sebagai tuan rumah 02SN 2019, hanya mampu meraih 2 perak dan 3 perunggu. Raihan ini menempatkan Aceh di urutan ke 25.
Posisi Aceh sedikit lebih bagus dari Papua Barat dan Maluku Utara. Keduanya pulang tanpa medali apapun.
Tak hanya itu, pada 29 Agustus 2019 lalu, Syaridin sempat dipukul oleh seorang pria berinisial HN, 30 tahun, di kantornya di Banda Aceh.
Pria tadi diduga adalah Timses Irwandi-Nova di Pilkada 2017 lalu dan termasuk yang membantu Saridin guna meraih kursi panas di Dinas Pendidikan Aceh. Menurut pemberitaan, pemukulan terkait dengan pekerjaan.
Pada 2 September lalu, Plt Gubernur melantik sejumlah kepala SKPA baru. Saridin menjadi Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPSDM). Sementara Rahmad Fikri sebagai Kepala Dinas Pendidikan Aceh.
Belakangan Saridin dikabarkan sakit dan harus menjalani perawatan rutin.
Mutu pendidikan Aceh sendiri, hingga kini masih memprihatikan. Pendidikan Aceh berada pada peringkat 27 dari 34 provinsi se-Indonesia. Rendahnya kualitas guru menjadi salah satu penyebab lemahnya mutu pendidikan Aceh. Kucuran dana besar ternyata belum mampu mendongkrak kualitas mutu pendidikan Aceh.
Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kakanwil Kemenag Aceh) Drs HM Daud Pakeh, Senin 28 Oktober 2019.
Ternyata Aceh (memang) Carong, tapi di urutan 27 dari 34 provinsi. Selamat…!