PRIA muda itu duduk di pojok sebelah kiri salah satu Warkop dalam Kota Banda Aceh. Saat itu Senin malam 11 November 2019. Dua gelas kosong berada di depannya. Matanya terpaku pada layar handphone android miliknya. Ia seolah tenggelam dengan dunianya sendiri. Padahal suara riuh pengunjung di Warkop itu cukup membuat peka telinga.
“Sorry bang. Sibuk dengan handphone. Jadi tak sadar abang datang,” ujar pria muda itu ketika melihat kehadiran atjehwatch.com.
Ia tersenyum. Memanggil pelayan dan kembali memesan dua gelas kopi pancung untuk kami berdua.
“Adi sedang cek informasi CPNS 2019. Kalau ada dibuka formasi bahasa Inggris, rencananya mau ikut,” kata pria muda tadi.
Ya, pria muda tadi bernama Sufriadi. Ia akrab disapa Adi. Adi adalah seorang alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di salah satu universitas swasta di Kota Banda Aceh, sekitar dua tahun lalu.
Namun usai lulus, Adi tak mengajar. Pria asal Gayo ini justru menekuni bidang IT dan desain. Keahliannya di bidang desain dan IT cukup mampuni. Ini dilakoninya sejak masih berstatus mahasiswa. Adi juga pandai mengotak-atik laptop yang bermasalah.
“Tapi bagi orangtua dan calon mertua, ini bukan pekerjaan yang menjanjikan untuk masa depan. Jadi untuk tahun ini, saya diminta ikut tes CPNS,” ujar pria muda tadi dengan senyum kecut.
“Ayah pacar mensyaratkan seragam PNS agak bisa menikah. Apalagi ia baru saja lulus kuliah. Dealine dua tahun,” keluh Adi.
Apa yang disampaikan Adi sebenarnya bukan informasi baru di Aceh. Para orangtua masih menganggap status PNS memiliki level teratas dalam strata sosial. Beberapa di antara mereka, masih menjadikan seragam PNS sebagai syarat melamar.
Sementara pemerintah Aceh, belum begitu focus dalam membantu industri kreatif. Dari 17 triliun lebih APBA 2019 misalnya, hampir 40 persen digunakan untuk kebutuhan dan gaji pegawai negeri. Sementara sisanya lebih ke proyek infrastruktur, SPPD serta tunjangan lainnya.
Kondisi ini belum lagi ditambah dengan fee proyek untuk para pejabat yang duduk di SKPA dan SKPD. Ketergantungan ekonomi Aceh dari APBA juga cukup tinggi. Hal inilah yang akhirnya membuat para lulusan di perguruan tinggi berlomba-lomba mengikuti tes CPNS setiap tahunnya. Namun dari ribuan yang melamar, hanya puluhan yang beruntung dan akhirnya berhasil mendapatkan seragam PNS. Sedangkan sisanya, seperti alumni FKIP, terpaksa honor di sekolah-sekolah dengan bayaran yang jauh di bawah standar, namun berharap suatu saat akan diangkat jadi PNS.
Hanya satu dua orang-orang yang seperti Adi, yang memilih berwirausaha berdasarkan keahlian yang dimiliki. Hanya saja, aktivitas tadi juga belum dianggap sebagai pekerjaan.
“Saya coba ikut tes (CPNS-red), siapa tahu beruntung,” ujarnya lagi.
Seorang pelayan datang membawa dua gelas kopi pancung untuk kami. Adi langsung meneguk kopinya. Ini adalah gelas ketiga dari satu Warkop yang diminumnya malam ini. Adi sendiri, rencananya akan pindah ke Warkop lain, untuk menyelesaikan tugasnya merancang website usai pertemuan kami. []