JAKARTA – Masykur Syafruddin, pemuda 22 tahun dari Pidie, Aceh, mendapat Sartono Kartodirjo Award dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebuah penghargaan untuk mengapresiasi kerja-kerja sejarah oleh individu maupun komunitas. Penghargaan ini diberikan bersamaan dengan rangkaian Peringatan Hari Sejarah 2019 bertema “Membayangkan Indonesia di Hari Depan” yang berlangsung pada 4-6 Desember 2019, di Jakarta.
Masykur lahir di Blang Glong, Pidie pada 5 Juli 1997. Sejak usia 14 tahun, ia sudah tertarik mengumpulkan koin-koin kuno yang banyak ditemukan di sekitar tempat tinggalnya. Kegemaran itu kemudian menjadi lebih serius ketika pada 2014 ia mendengar berita mengenai banyaknya naskah kuno yang dijual ke luar negeri.
“Kan timbul pertanyaan, kenapa ini bisa di luar negeri? Okelah kalau di Belanda karena rampasan perang pada masa kolonial. Tapi yang di Malaysia segala macam kenapa bisa di luar negeri? Kan itu asli kebudayaan kita. Nah, itu yang menjadi tanggung jawab kita, tanggung jawab saya untuk menyelamatkan itu agar tidak dijual ke luar negeri,” ungkap Masykur kepada Historia.
Sejak itu, Masykur mulai mencari dan mengumpulkan naskah-naskah dan benda-benda bersejarah yang hendak dijual ke luar negeri. Ia lalu mendirikan Museum Pedir tahun itu juga.
“Awalnya kita melacak barang-barang yang sudah dibeli oleh agen barang antik yang akan dijual ke luar negeri. Jadi sebelum dijual ke luar, kita beli,” sebut Masykur.
Tak sampai di situ, Museum Pedir kemudian juga melacak benda-benda bersejarah dari Aceh yang sudah dijual ke luar negeri.
“Kita beli lagi, bawa pulang ke Aceh. Kita juga lacak semua di media-media, kemudian di toko-toko antik,” kata mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh ini.
Setelah dibawa kembali ke Aceh, naskah-naskah kuno itu didigitalisasi dan dipublikasikan lagi. Selain itu, kini Masykur dan para relawan Pedir Museum tidak hanya membeli benda-benda yang akan dan sudah dijual ke luar negeri. Mereka juga mencari dan mengumpulkan benda-benda bernilai sejarah yang tersebar di masyarakat dan perlu mendapat perawatan yang baik.
“Tidak mesti kita beli semua. Ada masyarakat yang tahu tujuan kita menyelamatkan itu. Dihibahkan juga ada. Ketika sudah dijual ke luar, sulit sekali untuk memulangkan itu. Beda dengan yang ada di masyarakat. Misalnya koleksi-koleksi mata uang, perhiasan, senjata segala macam itu, ada juga memang masyarakat yang memberikan,” terang Masykur.
Pedir Museum selama ini juga melakukan pembiayaan secara mandiri. Mulai dari pembiayaan, perawatan, pencarian koleksi, hingga keperluan penelitian.
“Semua kita biayai dengan uang pribadi dan sumbangan dari masyarakat. Kita belum yayasan, belum mendapatkan biaya dari pemerintah,” sebut Masykur.
Beberapa kali Masykur telah mengajukan proposal kepada pemerintah daerah. Namun, menurut Masykur, prosesnya begitu lamban dan pihak pemerintah daerah dirasa memang kurang perhatian.
“Kita nggak menunggu ada uang dulu, kita langsung gerak saja,” ungkapnya.
Saat ini, Museum Pedir memiliki 2.870 koleksi. 462 di antaranya merupakan koleksi naskah manuskrip. Sementara itu, mata uang kuno dari abad ke-12 hingga 19 mencapai 1.000 koleksi. Selain itu, Museum Pedir juga menyimpan perhiasan, senjata, arsip kesultanan, kain dan tekstil, benda-benda etnografi dan arkeologi, hingga temuan-temuan fosil.
Museum Pedir saat ini masih menggunakan rumah orang tua Masykur di Pidie Jaya yang ke depan akan dibangun menjadi museum. Meski demikian, Museum Pedir telah memiliki cabang di Banda Aceh. Cabang museum di Banda Aceh didirikan untuk memudahkan akses para peneliti dan tamu dari luar negeri.