BANDA ACEH – Sulastri masih ingat betul perjuangan saat pertama mendirikan madrasah ibtidaiyah swasta (MIS) di Desa Kala Wih Ilang, Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah. Dengan modal semangat, ibu dua anak ini bertekad mencerdaskan anak-anak di pedalaman Aceh.
Perempuan kelahiran Aceh Tengah, 14 Juli 1982, ini sebenarnya tidak punya pengalaman sebagai guru. Keinginannya mendirikan sekolah berawal ketika dia masih bekerja sebagai honorer di Kantor Urusan Agama (KUA) Pegasing.
Suatu ketika, dia melihat anak-anak di desa yang terletak 35 kilometer dari Takengon, ibu kota Aceh Tengah, itu menghabiskan waktu mereka dengan membantu orang tua di perkebunan. Hingga usia belasan tahun, anak-anak kebanyakan asal Sumatera Utara ini belum pernah mengenyam bangku sekolah.
Sulastri bersama pamannya, yang juga bertugas di KUA, berinisiatif membuka sekolah pada 2013. Bangunan sekolah dibuat dari papan berlantai tanah. Dia mengajak anak-anak di Kala Wih Ilang belajar.
“Sebelum 2013 belum ada sekolah di sini, padahal anak didik banyak, tapi belum ada sekolah. Bahkan anak umur 12 tahun tidak mengetahui apa-apa di sini, apalagi baca-tulis. Nilai mata uang saja mereka tidak tahu,” kata Sulastri mengawali ceritanya, Kamis (9/1/2020).
Tak lama setelah bangunan sekolah berdiri, paman Sulastri meninggal dunia. Sulastri pun harus melanjutkan amanah mengajar 13 siswa seorang diri. Perjuangan yang harus dilalui semakin berat.
Terlebih akses jalan ke sekolah masih berlumpur dan sulit dilalui kendaraan roda dua. Sulastri memilih berjalan kaki ke sekolah, dan sesekali diantar suaminya. Untuk membuat proses belajar-mengajar menjadi lancar, Sulastri mengutip iuran dari orang tua siswa seikhlasnya.
Uang yang terkumpul dia pakai untuk membeli alat tulis serta perlengkapan sekolah. Jika dana tidak mencukupi, Sulastri terpaksa merogoh kocek sendiri. Dia juga merekrut satu orang yang dipercaya untuk mengelola keuangan.
“Orang tua siswa waktu itu juga ikut nyumbang seadanya untuk gaji saya. Setelah saya bagi dengan bendahara, kadang sebulan dapat gaji Rp 50 ribu,” jelas Sulastri.
Setelah berselang tahun, jumlah murid yang bersekolah di MIS Wih Ilang semakin ramai. Hingga 2019 lalu, ada 40 siswa dari kelas 1-6 yang belajar di sana. Sulastri menjabat kepala sekolah meski masih berstatus honorer.
“Untuk gurunya, dari 2013 sampai 2016 itu ada empat guru, termasuk saya. Baru 2016 Kemenag Aceh Tengah mengirim tiga guru PNS,” ujar Sulatri.
Musim hujan menjadi kendala bagi para guru PNS untuk mengajar. Mereka kerap tidak dapat ke sekolah karena jalanan tidak dapat dilalui. Akibatnya, Sulastri lagi-lagi harus meng-handle tugas guru lain.
Sulastri berkisah jalanan di sana memang menjadi kendala besar dalam memajukan MIS Kala Wih Ilang. Bahkan Sulastri pernah dua kali keguguran ketika melewati jalanan tersebut.
Menurutnya, dalam proses mengajar, Sulastri terpaksa membawa seorang anaknya yang masih berusia 2 tahun. Kadang buah hati harus dia gendong sambil tetap bersemangat mencerdaskan anak-anak pedalaman.
Perjuangan Sulastri mulai berkurang ketika, pada 2017, Kepala Kantor Wilayah Kemenag Aceh M Daud Pakeh berkunjung ke sana. Daud memberi sejumlah bantuan, yaitu membangun gedung sekolah, termasuk mengusulkan pengerasan jalanan untuk memudahkan akses ke sekolah.
“Sekarang saya juga sudah mendapatkan dana terpencil sebesar Rp 16 juta per tahun,” jelas Sulastri.
Kini sarana dan prasarana di sekolah sudah cukup bagus. Berkat kerja kerasnya, Sulastri diganjar penghargaan oleh Kementerian Agama pada akhir 2019.
Sulastri diundang ke Jakarta untuk menerima penghargaan sebagai kepala madrasah sekaligus guru inspiratif. Penghargaan berupa uang tunai sebesar Rp 20 juta dan sertifikat dari Menteri Agama RI diserahkan oleh Direktur Pendidikan dan Agama Bappenas RI Amich Alhumami MA MEd PHd, dalam acara Ekpose Kompetensi dan Profesionalitas Guru Madrasah 2019, di Bell Swiss Hotel, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
“Saya sudah berniat mengajar anak-anak Kala Wih Ilang selama saya masih hidup. Mudah-mudahan ini jadi ladang amal ibadah saya nanti,” ungkapnya.