Penulis Musa AM
RISKA semakin sering mengirim pesan singkat usai pertemuan di Lapangan Tugu. Namun Ibnu tetap mencoba untuk berpikir positif. Ia menduga jika si gadis Jawa itu sedang mencari teman baru selama di Aceh.
Riska mengirim pesan di pagi hari, siang hingga saat malam tiba. Sedangkan Ibnu mencoba menanggapi sebiasa mungkin.
Perempuan cantik itu juga mulai sering terlihat di depan RKU 3 yang menjadi ‘markas’ mahasiswa jurusan Sejarah selama ini. Keberadaan Riska di sana, turut menjadi pembahasan serius kop mahasiswa ‘cap sikureung’ itu.
Kepada Ibnu, Riska beralasan kebetulan lewat, ketemu teman hingga diajak kawan ke kantin FKIP karena makanannya enak. Kebetulan pula, saat Riska terlihat di FKIP, ada Ibnu di sana. Namun Ibnu sendiri tetap mencoba berpikir positif. Ia tidak mau ke pikiran macam-macam.
“Tak mungkin ia menyukaiku. Ia terlalu cantik untukku yang bukan siapa siapa. Wanita cantik sepertinya pasti banyak disukai lelaki,” pikir Ibnu.
“Lagian, kalau gadis itu suka pun, dia pasti mundur jika mengetahui latar belakangku. Aku adalah lelaki sebatang karang. Orangtua mana yang mau menikahi anaknya dengan lelaki miskin seperti diriku,” gumam Ibnu lagi.
“Bang Ibnu, kenapa orang Aceh sangat benci dengan orang Jawa,” tanya Riska saat mereka bertemu di kantin FKIP. Kepada Ibnu, Riska mengaku sedang menunggu seorang teman yang kebetulan kuliah di FKIP.
Riska ke kantin, dan ternyata ada Ibnu di sana yang menikmati segelas kopi sambil baca buku. Ia kemudian duduk di depan pemuda itu. Bau mawar seolah sedang mekar di sekeliling kantin. Beberapa pengunjung menoleh ke arah gadis itu.
Ekpresi wajah Riska kali ini terlihat kaku. Aura-nya sedikit berbeda. Wajahnya terlihat serius.
Ibnu mencoba tersenyum. Ia tak ingin gadis muda itu masuk dalam persoalan konflik yang baru saja reda di Aceh.
“Siapa bilang,” jawab Ibnu dengan memasang mimik wajah serius.
Riska menarik nafas panjang. “Riska sudah setahun lebih di Aceh. Banyak orang ramah kepada Riska saat awal ketemu. Kemudian justru menghindar saat tahu kalau Riska berasal dari Jawa,” katanya kemudian. Pertanyaan itu cukup menohok.
Ibnu mencoba santai. Ia tahu jika Riska adalah gadis cerdas. Menghadapi pertanyaan dari gadis seperti Riska, maka butuh jawaban yang tepat dan masuk akal.
“Mungkin karena konflik di masa lalu. Sebenarnya, orang Aceh tak membenci orang Jawa. Mereka hanya kecewa dengan janji-janji pemerintah pusat yang berada di tanah Jawa,” kata Ibnu sambil mencari kata kata yang tepat untuk diungkapkan.
Jawaban Ibnu ini membuat wajah Riska kembali tersenyum.
“Syukurlah kalau begitu,” ujar sang gadis sambil mencoba memberi senyum termanisnya untuk lawan bicara di depan. Ibnu hampir terbuai dengan senyuman itu. Dia cepat cepat beralih pandang kembali ke buku.
“Riska tidak apa apa kok dibenci oleh seluruh warga Aceh, asal bukan Bang Ibnu,” katanya tiba-tiba sambil menatap Ibnu dengan penuh kelembutan.
Kalimat itu membuat Ibnu tersentak. Bukunya hampir jatuh dari tangan. Ia hampir salah tingkah. Namun Ibnu mencoba bersikap biasa walaupun jantungnya berdetak kencang. “Mungkin Riska sedang mengodaku untuk candaan biasa,” pikirnya saat itu.
“Ris, jangan bercanda seperti itu. Kamu bisa membuat para lelaki salah tingkah kalau mendengarkannya,” ujar Ibnu.
Tapi Riska tetap menatapnya dengan penuh kelembutan.
“Jadi Bang Ibnu bukan laki-laki?” balas Riska lagi dengan mimic serius. Tapi pertanyaan kali ini justru membuat alis Ibnu berkerut.
“Maksudnya?”
Riska tersenyum mendengar respon Ibnu. Gadis itu memamerkan deretan gigi putih bersihnya yang menawan.
“Tadi Abang bilang, kalau aku buat lelaki salah tingkah kalau mendengarkan… Bang Ibnu justru cuek aja kah, berarti…” ujar Riska penuh makna. Kini giliran Ibnu yang tertawa lepas.
“Oh, tidak-tidak. Aku lelaki normal kok,” ujarnya sambil tersenyum. Si gadis terlihat cukup nyaman dengan tawanya.
[Bersambung]